Ketika saya mengikuti kelas Sekolah Perempuan yang menawarkan pelatihan penulisan buku dengan janji mengarahkan peserta didik dapat menerbitkan bukunya dalam 4 bulan, saya menyimak betul kurikulum dan mentor-mentornya. Tidak seorangpun diantara para mentor tersebut yang saya kenal, karena sebelumnya mungkin saya tidak mengenal dunia tulis menulis buku. Sekian puluh tahun menjadi pengajar pun saya baru menerbitkan satu judul buku yang disusun beramai-ramai dan merupakan hasil penelitian selama hampir satu semester.
Cara apa yang saya lalukan untuk mengenal mentor saya lebih dekat, bahkan beberapa diantaranya belum pernah saya jumpai tersebut?
Di tempat pelatihan saya sempat membeli buku “Ternyata Menulis Itu Gampang” karya Indari Mastuti.
Saya pun ke toko buku terdekat, menuju ke komputer pencari buku dan saya ketik nama-nama mentor saya tersebut. Terbersit dalam benak saya, para mentor tersebut pastilah penulis buku yang handal. Tidak mungkin sebuah kelas penulisan, penulisnya tidak piawai menulis buku bukan?
Mereka pastinya telah menembus penerbit-penerbit terkenal dan telah melampaui jajaran editor yang ketat.
Saya ingin tahu, seperti apa susunan kalimat para mentor saya tersebut, gaya penulisan dan kriteria penerbit sampai karya-karya mereka dapat terbit.
Ketika nama Nurul Asmayani saya ketik, muncullah nama buku “Panduan Sukses Orang Indonesia di Jepang” dan “Jejak Ramadhan di Berbagai Negara”.
Lalu Anna Farida, tertera karyanya “Aku Anak Baik”, sebuah cerita dalam 3 bahasa. Siapa tahu, suatu saat saya bisa juga mempunyai kesempatan menulis buku anak.
Kenapa tidak?
Kemudian buku “Puzzle Jodoh” karya Ida Fauziah sangat membantu saya dalam menulis buku saya. Ditambah dengan “101 Things About Married” karya Nurul Asmayani, menambah kaya referensi buku saya, karena saya menulis buku dengan tema sejenis.
Tidak semua buku-buku tersebut ada di rak, bahkan ada yang stoknya sudah habis. Misalnya mentor Julie Nava, bukunya “Musim Gugur Terakhir di Manhattan” termasuk yang stoknya habis tersebut. Mudah-mudahan suatu saat saya bisa mendapatkan buku novel tersebut. Belum terpikirkan untuk menulis novel, karena imajinasi dan perbendaharaan kosakata saya tidak cukup kaya untuk menyusun novel.
Sesungguhnya saya tidak betul-betul perlu buku-buku tersebut, tetapi saya harus tahu ide apa yang tertuang dalam tulisan para mentor saya. Melalui buku-bukunya setidaknya saya belajar sesuatu yang baru. Satu, dua, tiga, empat, lima…buku-buku dengan beragam judul siap saya baca dan saya serap ilmunya. Ya, setiap kalimat pastinya mengandung pesan dan pengetahuan baru. Minimal, saya ingin seperti mereka, dapat menebarkan ilmu melalui buku.
Penulis Promosi
Penulisan buku yang saya susun dibawah bimbingan ketat para mentor, melalui jajaran editor di agensi naskah kemudian tahapan berikutnya melampaui editor penerbit, akhirnya terbit. Tak terpikirkan oleh saya, bahwa dikemudian hari saya harus pula mempromosikan buku saya tersebut.
Menulis buku adalah satu hal, mempromosikan ternyata hal lain lagi.
Walaupun sedikit banyak pada waktu menyusun buku tersebut sayatelah melakukan survey, dan mencoba menyusun buku yang mempunyai ciri khas dibandingkan dengan buku sejenis yang beredar di pasaran. Tetapi siapa yang bisa menebak selera pasar?
Buku yang sedang trend di masa sekarang, belum tentu masih laku beberapa bulan ke depan. Buku Arsitektur yang sempat saya susun puluhan tahun lalu pun, penerbitnya sudah tutup dan saya cukup bersyukur bila menjumpai buku tersebut ada di perpustakaan beberapa perguruan tinggi.
Komunitas tempat saya bergabung merupakan salah satu cara untuk menawarkan buku saya, selain melalui teman alumni di masa kuliah atau teman-teman di lingkungan kerja serta tentu saja saudara-saudara saya. Itupun tak sertamerta membuat buku saya laris manis. Apalagi buku saya dengan judul “Ketika Anakku Siap Menikah” tersebut paling cocok dibaca untuk para orangtua yang siap menikahkan anak, atau lajang yang bersiap untuk menikah. Ketika orangtua berputra-putri masih balita, tentunya bukan buku saya yang dicari.
Menawarkan melalui twitter atau jejaring sosial pun saya coba lakukan, walaupun dengan pertemanan yang hanya sekian ratus dan follower yang tidak terlalu menjanjikan. Alih-alih menawarkan buku saya, malahan saya membeli buku dari teman sesama komunitas tersebut.
Barter Buku
Padasuatu hari saya mendapatkan inbox dari sesama penulis di komunitas IIDN. Setahu saya, Dian Nafi, adalah penulis yang buku buku solo dan berapa buku kolaborasi telah banyak yang terbit. Pastinya sudah lebih dari hitungan jari jemari. Kalimat sapa di inbox saya sederhana saja, mengucapkan selamat buku saya telah terbit, lalu menawarkan:”Barter yuk”.
Barter buku?
Tukar menukar buku?
Kenapa tidak?
Saya bisa menyerap ilmu baru dan saya pun bisa menebar ilmu.
Jadilah kami bertukar buku. Saya memperoleh 3 buku sekaligus, “Lelaki Kutunggu Lelakumu”, “Segitiga-Setiap Sudut Punya Cerita” dan “Petitah-Perjalanan Menuju Awal”.
Cara Dian Nafi mengajak barter buku pun saya coba ke penulis lain. Waktu itu penulis yang saya sasar adalah Anang YB. Waktu itu saya ikut pelatihan mellaui grup FB yang diadakan oleh beliau. Meluncurlah buku saya, dan beberapa hari kemudian, saya mendapatkan buku Anang YB, “Cinta Adalah…Sebuah Keajaiban”, yang ditulis bersama Frans Budi Pranata.
Sip, kan…
Nah, siapa lagi yang bersedia barter buku dengan saya?
Aku sudah ketemu Dian Nafi di Semarang. ORangnya sangat humble.
Wah senangnya mbak Lusi. Terimakasih sudah mampir, salam kenal… 🙂
saya juga punya keinginan untuk memiliki buku sendiri bu. kemarin-kemarin masih antologi. ingin esok, punya buku solo.
dan memang dengan belajar pada mereka yang telah berpengalaman akan mempercepat langkah kita
Semoga terkabul keinginannya. Trimakasih sdh berkunjung…
Hai Mba Hani cantik. Saya juga tergabung di penerbit Andi. Sumringah rasanya berjumpa dengan penulis berseri sama, seri apotek dapur 🙂 Yuk barter dengan saya Mba.
Ayuk…ayuk. Bukunya apa judulnya? Email saya yaa. Nanti kita saling review yaa…Makasih 😀