Saya lupa kapan membaca sebuah flyer yang mewartakan ada sharing via zoom tentang buku “Beri Aku Cerita yang Tak Biasa”. Ada dua narasumber yang akan membagikan pengalamannya yaitu mbak Widyanti Yuliandari dan mbak Kirana Kejora.
Saya tertarik dengan caption pada instagram bahwa topiknya adalah tentang fiksi vs nonfiksi.
Wah, menarik nih. Sampai saat ini, menulis fiksi menurut saya masih merupakan hal yang di luar kemampuan. Saya kadung mencap diri bisanya menulis nonfiksi.
Sebagai pengajar di perguruan tinggi teknik, lingkupnya pada hal-hal logika, pada kekuatan struktur bangunan, dan lain-lain. Kalau pun membahas tentang keindahan, karena bidang saya arsitektur, itu pun bisa dijelaskan kenapa hasil akhir desainnya seperti itu.
Menerbangkan Adikarya Nuswantara dalam Bingkai Cerita yang Tak Biasa
Acara webinar berjudul “Menerbangkan Adikarya Nuswantara dalam Bingkai Cerita yang Tak Biasa” ini diadakan Jum’at, 7 Oktober 2022, pukul 19:00-21:00 melalui zoom.
Sebelumnya memang peserta yang telah mendaftar dibuatkan grup WhatsApp untuk koordinasi dan mewartakan berbagai informasi dan ketentuan lain.
Narasumber acara ini adalah Widyanti Yuliandari, seorang blogger, writing mentor, dan Ketua Umum IIDN. Sedangkan narasumber berikutnya adalah Kirana Kejora, writerpreneur dan pendiri Elang Nuswantara.
Sebelum acara dimulai kami disuguhi sebuah video pendek berdurasi ~5 menit sebuah “Monolog: Menerbangkan Adikarya Nuswantara dalam Bingkai Cerita yang Tak Biasa”.
Pelan-pelan saya mencerna rangkuman monolog yang dugaan saya adalah para kontributor buku “Beri Aku Cerita yang Tak Biasa”. Dari host di monolog tersebut saya malah baru tahu bahwa buku ini merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh sekitar duapuluh penulis yang tergabung dalam Elang Nuswantara.
Kok asyik ya…
Ke mana saja saya, kok engga tahu ada bimbingan menulis cerpen.
Cerpen kan kisah fiksi.
Berani Menulis Fiksi Bersama Widyanti Yuliandari
Sharing Bersama Widyanti Yuliandari
Mbak Wid, begitu kami biasa menyapanya, memaparkan berbagai kegiatan IIDN (Ibu-ibu Doyan Nulis) selama beberapa tahun terakhir.
Mbak Wid merupakan alumni magister Teknik Lingkungan dan menurut pengakuan beliau terbiasa berpikir mengikuti alur secara logika.
Paparan kali ini juga tidak akan memberikan tutorial penulisan tentang fiksi atau nonfiksi.
Beliau juga turut berkontribusi dalam buku “Beri Aku Cerita Yang Tak Biasa” dengan judul cerita pendek “Dari Taneyan Lanjang ke Wageningen”.
Awalnya beliau gamang juga menuliskan sebuah cerpen yang notabene adalah cerita fiksi, walaupun ada juga sekelumit kisah nyata di dalamnya.
Taneyan Lanjang diangkat sebagai setting lokasi yang ternyata asal usul leluhur mbak Wid yang ada darah Maduranya.
Tahun 2021 ketika saya dan teman-teman melakukan kunjungan ke Sumenep jadi paham seperti apa Taneyan Lanjang tersebut yaitu tata letak rumah yang menjadi kekhasan beberapa kampung di Madura.
Rumah-rumah ditata berderet dan saling berseberangan menghadap halaman panjang, itu sebabnya disebut Taneyan Lanjang (halaman panjang).
Sedangkan Wageningen adalah sebuah universitas di Belanda, yang juga menjadi setting lokasi di dalam cerpennya.
Ada hal yang menarik yang bisa menjadi pegangan kita sebagai penulis fiksi pemula, yaitu:
- Banyak membaca karya fiksi dari berbagai penulis yang baik
- Lepaskan ekspektasi
- Gunakan setting yang mudah dibayangkan
- Gunakan bantuan video, foto, rekaman suara, dsb
- Jangan lupa minta bantuan kepada Sang Maha
Pada akhir paparannya Mbak Wid menyampaikan bahwa kalau ada mitos bahwa penulis fiksi itu harus pintar mengkhayal, hanya bisa ditulis oleh orang berbakat dan tulisannya gampang dibuat, itu tidak benar.
Sejatinya kita harus berani membuka diri untuk mencoba hal baru.
Menggali Pesan Filosofi Bersama Kirana Kejora
Sharing bersama Kirana Kejora
Kirana Kejora, perempuan kelahiran Ngawi, 50 tahun yang lalu, dikenal selama ini sebagai sastrawan dengan karya novel, cerita pendek di sejumlah surat kabar, dan juga penulis skenario film dan televisi.
Beliau tampak sekali sebagai pribadi yang ceria dan bersemangat ketika menjelaskan tentang awalnya sebagai founder Elang Nuswantara.
Elang Nuswantara sendiri baru dibentuk 14 Maret 2022 yang lalu, kemudian berkembang menjadi beberapa Elang lain yang berkaitan dengan tema penulisan.
Tanggal 25 Agustus 2022 yang lalu merupakan tanggal bersejarah bagi Elang Nuswantara.
Walaupun sebuah komunitas pegiat literasi yang baru dibentuk ternyata telah menerbangkan tiga karya sekaligus yang mengangkat budaya, tradisi lokal, dan alam Indonesia.
Elang Merang meluncurkan buku “Sang Mistikus Kasih” karya 47 pasukan Elang Merah, Elang Putih meluncurkan buku “Pesan Yang Belum Sampai” karya beberapa penulis yang sebagian merupakan gen Z.
Sedangkan Elang Biru menerbangkan buku “Beri Aku Cerita yang Tak Biasa” ditulis oleh 28 kontributor yang merupakan anggota komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis.
Bu’E, begitulah Kirana Kejora biasa disapa oleh para pasukan Elang Nuswantara, dalam paparannya menjelaskan bahwa jadilah penulis yang tidak manja.
Saya membayangkan bila saya dibimbing oleh Bu’E ini pastilah penuh disiplin tapi juga naskahnya harus merupakan hasil riset.
Walaupun ‘hanya’ merupakan cerpen tetapi saya menangkapnya harus disertai dengan penelitian yang tidak main-main dan akurat. Baginya tak masalah dari untaian kata pada cerpen hanya 10% saja berupa karangan, yang lainnya adalah fakta, tetap dianggap fiksi.
Pembeda terbesar antara fiksi dan nonfiksi adalah, fiksi merupakan karangan, sedangkan nonfiksi berupa kisah nyata.
Jadi tidak ada tuh yang namanya cerpen nonfiksi atau novel nonfiksi.
Serunya lagi Bu’E mempromosikan bahwa karya puluhan kontributor di buku “Beri Aku Cerita yang Tak Biasa” ini semuanya mengangkat budaya base on research.
Tak masalah bahwa ada cibiran dari khalayak bahwa menulis cerpen berlatarbelakang budaya itu tidak sexy.
Satu hal yang cukup menggugah saya secara pribadi adalah Bu’E ternyata alumni sarjana Teknik Perikanan, jadi latarbelakangnya keteknikan. Sebagai pribadi yang awalnya pola pikirnya kuat di otak kiri, ternyata bisa menjadi novelis, penulis cerpen dan kisah filmis.
Belajar dari leluhur di Indonesialah yang mendasari kenapa Bu’E mengangkat kisah-kisah dengan latarbelakang budaya yang ditulis cermat melalui penelitian terlebih dahulu.
Leluhur kita budayanya adalah budaya bertutur, berbagai hal dikisahkan secara turun-temurun, karena belum ada buku.
Tetapi bukan berarti tanpa karya. Justru leluhur kita menghasilkan karya yang penuh filosofi, dan itu disampaikan secara turun-temurun.
Beliau memberi contoh pada kisah yang ditulis bersama Hedy Rahadian, yaitu “Totopong Hanjuang Kakek”.
Totopong yang merupakan ikat kepala pria khas Sunda berbentuk segi-empat mengandung filosofi niat-lisan-perilaku-raga. Tetapi dalam menuliskan sebuah kisah fiksi, tidak sertamerta menuliskan secara gamblang filosofi totopong tersebut.
Disinilah peran penulis fiksi bagaimana mengemas sebuah kisah dengan setting budaya mengangkat makna filosofi dengan bahasa yang menarik dan apik.
Bu’E dengan bersemangat sangat bangga bisa bekerjasama dengan komunitas IIDN yang merupakan komunitas literasi ini. Ibu, perempuan, merupakan garda terdepan untuk membangun bangsa.
“Tugas cerpenis adalah mempercantik tulisan”
Karya yang kita tulis tersebut seolah mengandung gambar yang bergerak. Sebuah cerita yang bagus harus mengandung 4 hal berikut:
- Possible, masuk akal, penulis harus punya data yang masuk akal
- Suspend, ada unsur yang menggetarkan
- Surprise, ada unsur kejutan dalam ceritanya
- Satire, sesuatu yang lucu tetapi belum tentu komedi
Untuk melengkapinya, sebuah cerpen harus ada unsur keluarga, drama-romance, dan spiritual- ke Sang Maha.
Dalam hal ini Bu’E menjelaskan bahwa goals mengampu Pasukan Elang Biru dalam menuliskan naskah “Beri Aku Cerita yang Tak Biasa” adalah bahwa orang tertampar setelah membaca bukunya. Hal ini disebabkan karena buku ini mengandung pesan budaya tentang kearifan lokal.
Penutup
Buku antologi ” Beri Aku Cerita yang Tak Biasa”
Mengakhiri sesi webinar “Menerbangkan Adikarya Nuswantara dalam Bingkai Cerita yang Tak Biasa” tersebut adalah sharing dari Rahmi Aziz tentang pengalamannya mengikuti kelas cerpen ini. Beliau mengangkat tentang budaya adat Bugis tentang tahapan pernikahan yaitu Mappasikarawa. Untuk menggali lebih dalam tentang budaya tersebut beliau sampai mewawancara pini sepuh Bugis.
Sebuah perjuangan yang tidak main-main untuk mengangkat sebuah kisah mengandung unsur budaya agar tidak lekang dimakan zaman. Penurut penuturan Rahmi pula, bahwa sekarang ini tahapan pernikahan menurut tata cara adat Bugis sudah banyak bergeser dari semula diterapkan.
Ini baru tiga penulis yang sedikit mengungkapkan pesan budaya dalam naskah cerpen mereka di “Beri Aku Cerita yang Tak Biasa”.
Indonesia memang kaya dengan adat-istiadat, budaya, alam, dan kearifan lokal, sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika.
Masih ada 25 lagi penulis yang tentunya mengangkat kisah berlatarbelakang budaya dari berbagai sudut Indonesia.
Penasaran ya, kisah-kisah lainnya? Sama dengan saya yang belum kesampaian membeli bukunya.
Nah, teman-teman bisa memesan buku tersebut di link Instagram Ibu-ibu Doyan Nulis atau hubungi salah satu penulisnya.
Silakan menikmati karya-karya Elang lainnya sesuai mottonya “menerbangkan karya, membuanakan jiwa dengan berkekasih semesta tanpa ketaksaan”
Semoga bermanfaat.
Iya. Biasanya, taniyan lanjeng, di ujung ada langgar atau musholla untuk ibadah atau sebagai tempat ngumpul berdiskusi kala ada persoalan keluarga.
Aku malah memulai menulis di bidang fiksi sih. Hehehe
Wah jadi pengen bisa nulis fiksi niy. Dan penasaran sama cerita2 budaya yang dirangkai dengan indah di buku ini. Bener2 jadi cerita yang tak biasa ya mba. Pasti banyak nilai2 budaya yg kita belum pernah tau sebelumnya yg diangkat di buku ini. Kerennnn
Saya suka mottonya “Menerbangkan karya, membuanakan jiwa dengan berkekasih semesta tanpa ketaksaan”
Kirana kejora ini novelis keren, novelnya sudah difilmkan
Ternyata menulis fiksi itu nggak selamanya khayalan aja ya mbak, tetapi harus berdasarkan riset yang kuat juga apalagi mengenai setting. Menulis cerpen budaya pasti jadi pengalaman yang menarik bagi Elang Biru, setahu saya beberapa diantaranya bloger. Dibimbing langsung sama ahlinya pula, mbak Kirana Kejora yang karyanya udah banyak. Salut untuk semua penulis Beri Aku Cerita yang Tak Biasa hingga menjadikan bukunya best seller. Semoga pesan kearifan lokal dan budaya yang ada bisa sampai khususnya pada generasi tiktok/reels. Makasih tulisannya mba Hanni, kebetulan aku nggak ikut zoomnya jadi bisa punya gambaran seperti apa serunya acara yang diisi mba Wid dan Buk’E ini.
Aku jugaa kemarin ikutan ini dan masyaAllaah, jadii pengen jugaa lhoo ikutan nulis fiksi hahaa.. terakhir nulis fiksi tuh pas 2018 kayaknya, dan kangen buat belajar nulis itu
Banyak yang bilang kalau nulis fiksi tuh gampang. Tinggal mengkhayal, jadi deh. Padahal tak semudah itu. Meski fiksi, tulisan kita gak bisa semaunya. Tetap harus mengedepankan fakta dan itu perlu riset atau berburu referensi. Duh, jadi kangen nge-fiksi lagi soalnya selama ini fokus ke nonfiksi.
Buku dengan tema yang unik. Cerita kearifan lokal yang disajikan dalam bentuk fiksi tentunya akan lebih mudah diterima masyarakat ya…
Cerita ringan tetapi mengandung makna tentang kearifan lokal dan budaya membantu masyarakat mengenal kekayaan daerah di Indonesia
Arti Taneyan Lanjang itu halaman panjang, wahh pasti seru baca buku ini ya bund. Banyak hal-hal baru beserta filosofinya dalam mengenal kearifan lokal yang ada di bumi nusantara tercinta ini melalui buku ini.
Seru bangettttt dimentori Mba Widya. Apalagi satu buku sama Ibu Ketua IIDN ini ya mba. Pengen dooong jadi bagian dari para penulis hebat ini. Semoga someday bisa satu buku dengan mereka.