Hari Pendidikan Nasional: Antara Teladan, Bimbingan, Dan Dorongan Dari Guru Ke Murid

Hari Pendidikan Nasional Antara Teladan, Bimbingan, Dan Dorongan Dari Guru Ke Murid

 

Ing Ngarso Sung Tulodo
Ing Madyo Mangun Karso
Tut Wuri Handayani

 

Mungkin tak banyak di antara kita yang ingat semboyan di atas yang artinya adalah “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan”.

Penggagasnya adalah Raden Mas Soerjadi Soerjaningrat, dikemudian hari lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, pahlawan pendidikan nasional Indonesia. Beliau dilahirkan di Pakualaman, 2 Mei 1889.
Hari lahir Ki Hadjar Dewantara selalu diperingati setiap tahun sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia.
Perjuangan Ki Hadjar Dewantara diawali dari ketidaksetujuan beliau atas kebijakan Belanda dalam memberlakukan pendidikan di Indonesia. Sebagai penjajah, Belanda membagi sistem pendidikan menjadi 4 karakter, yaitu
Pada zaman penjajahan tersebut, pendidikan memiliki empat karakter utama yakni: 1) dualistis-diskriminatif yang berarti sekolah akan dibedakan untuk anak pribumi, anak Belanda dan Tionghoa, dan akan dibedakan juga berdasarkan bahasa pengantarnya; 2) gradualis, sistem sekolah di Indonesia dikembangkan sangat lamban, karena bangsa penjajah tidak ingin pribumi lebih pintar dari mereka. Akan dibutuhkan waktu 100 tahun untuk Indonesia jika ingin memiliki sistem pendidikan yang lengkap mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi; 3) konkordansi, yang artinya kurikulum dan sistem ujian disamakan dengan yang ada di sekolah negeri Belanda; 4) pengawasan yang ketat, pribumi yang mengenyam bangku pendidikan akan diawasai dengan sangat ketat karena nantinya mereka akan diarahkan untuk semakin mendekati dan mengikuti budaya Belanda.

Ki Hadjar Dewantara melalui tulisan-tulisannya sebagai jurnalis memrotes kebijakan penjajah tersebut, yang menyebabkan beliau diasingkan ke pulau Bangka bahkan ke negeri Belanda. Sekembalinya beliau ke Indonesia, beliau mendirikan perguruan Taman Siswa. Sebuah pendidikan yang mengadopsi berbagai metoda yang ada di luar negeri, seperti Montesori, Frobel, dan lain-lain, disesuaikan dengan budaya dan karakter anak-anak Indonesia.
Semboyannya tersebut benar-benar mencerminkan karakter guru di kala itu, sebagai teladan, membimbing dan memberikan dorongan agar murid-muridnya senantiasa percaya diri untuk maju.

Generasi Milenial dan Semboyan Pendidikan

Di tahun 2022 ini di mana generasi milenial sudah sangat masif terpapar dengan berbagai kemajuan teknologi dan informasi, seluruh lini pendidikan di Indonesia ditantang untuk senantiasa memperhatikan kualitas anak didik. Kita terlalu disibukkan dengan kurikulum yang berganti setiap pergantian menteri, Ujian Nasional yang membuat ketakutan para murid, dan para guru pun dibebani dengan tugas administrasi sehingga tidak punya waktu untuk mengupdate diri.  Sekarang ini penyesuaian dengan kondisi masyarakat mulai dilakukan, misalnya penghapusan Sistem Ujian Nasional, kemudian segera dihapus juga pengelompokkan IPA-IPS di Sekolah Menengah Atas. Sedang digodog, bahwa murid dibebaskan memilih mata pelajaran yang nantinya menjadi fokus untuk melanjutkan pendidikan berikutnya.

Berbagai fasilitas yang kurang, sekolah yang gedungnya rusak dan lambat diperbaiki, menambah beban guru dalam membimbing murid-muridnya tersebut. Masih dicari juga pola yang tepat, sehingga sekolah-sekolah tidak harus menunggu tahun anggaran atau proyek-proyek yang ditenderkan.

Di sisi lain, berbagai sekolah dengan metoda yang langsung diadop dari luar negeri, ditambah pula dengan biaya pendidikan yang tinggi, seolah menempatkan uang di atas segala-galanya. Akibatnya menjadi guru seolah hanya penyambung materi kurikulum saja. Tidak ada rasa hormat lagi ke profesi guru, seperti masa pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara di masa lalu.
Semboyan Ki Hadjar Dewantara yang sangat mulia tersebut seolah menjadi semboyan tanpa makna. Kita bahkan hanya tahu semboyan itu pada saat masih sekolah dan upacara tiap tanggal 2 Mei. Selepas itu tak ada yang ingat bagaimana perjuangan para pejuang pendidikan untuk mensejajarkan derajat anak-anak bangsa dengan penjajah.

Pendidikan tidak mungkin hanya diserahkan ke para guru dan sekolah, tetapi orangtua bahkan lingkungan masyarakat pun harus bahu membahu agar anak-anak tetap terarah sebagai generasi pembangun bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Bukan tidak mungkin di antara generasi milenial akan lahir penggagas pendidikan masa datang yang tetap memberi teladan, membimbing, dan tentu saja mampu memberi dorongan ke murid-muridnya.

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL!

 

https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara
https://3.bp.blogspot.com/
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Soewardi1919Lebeau.jpg

Tinggalkan komentar