Suka-Duka Kuliah di Teknik Arsitektur

Artikel ini ditulis memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog yaitu menulis sesuai tema yang berbeda tiap bulan. Di bulan Maret ini temanya adalah Mengapa Memilih Kuliah di Jurusan Masing-masing?
Saya jadi mengingat-ingat, apa alasan saya kuliah di jurusan teknik Arsitektur, karena sudah lama banget berlalu. Apakah memang sesuai cita-cita, atau ikut teman saja.

Kuliah ke Bandung

Awalnya sebelum diterima kuliah di kampus gajah, saya diterima juga di jurusan Ekonomi di Universitas Indonesia. Waktu itu sistem penerimaan mahasiswa namanya SKALU (Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas), suatu sistem penerimaan mahasiswa baru tingkat nasional yang pertama kali dilakukan secara serempak oleh beberapa Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia. SKALU beranggotakan lima universitas yaitu Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga. 

SMA saya di Jakarta, jadi tes masuknya dulu dikonsentrasi di Istora Senayan. Karena saya dari IPA, boleh memilih alur IPC, jadi tes masuknya matapelajaran IPA dan IPS. Seingat saya, saya memilih Arsitektur UI, Arsitektur ITB, dan Ekonomi UI.

Kemudian ada pengumuman saya pun diterima di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB. Pendek cerita, saya memilih meninggalkan Jakarta untuk kuliah di Institut Teknologi Bandung, diiringi dengan was-was oleh orangtua. Tidak ada dari keluarga saya yang kuliah di Bandung, kuliah di teknik, apalagi ITB.

Memilih Jurusan Teknik Arsitektur

Awal kuliah di ITB tidak langsung masuk jurusan sesuai yang saya pilih, tetapi ada 3 semester dulu adaptasi. Semester pertama Matrikulasi, dan satu tahun berikutnya Tingkat Pertama Bersama (TPB). Matakuliahnya matematika, fisika, kimia, konsep teknologi, agama, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan apa lagi saya lupa. Sisanya ikut unit kegiatan yang sifatnya wajib. Kami harus memilih 2 unit, pilihan dari olah raga, kesenian, atau sosial. Mirip ospek sebenarnya, tapi dalam bentuk unit kegiatan.
Setahu saya sekarang tidak wajib lagi ikut unit-unit kegiatan seperti itu.

Ada masa di antara kuliah dan praktikum tersebut, kami harus ikut psikotes, untuk mengetahui minat dan bakat. Sebetulnya saya diarahkan ke Teknik Lingkungan (dulu namanya Teknik Penyehatan). Berhubung saya tidak ada gambaran, nanti kalau lulus profesinya apa ya TP itu, maka ketika harus memilih jurusan di tahun berikutnya, saya memilih Teknik Arsitektur.
Di fakultas Teknil Sipil dan Perencanaan (sekarang bernama SAPPK), ada 5 (lima) pilihan jurusan, yaitu Sipil, Arsitektur, Planologi (sekarang PWK, Perencanaan Wilayah dan Kota), Teknik Lingkungan, dan Geodesi, kok rasanya Arsitektur yang paling cocok untuk perempuan. Planologi pun sama, walaupun teman-teman perempuan saya banyak yang memilih Planologi, saya tak punya gambaran profesi.

Inilah salahnya saya dan mungkin generasi sesudah saya, memilih kuliah tapi tak tahu nanti kalau lulus mau ngapain.

Kuliah di Teknik Arsitektur

Bersamaan dengan saya awal kuliah itu juga ada pergantian tahun ajaran baru dari awalnya Januari ke Juli seperti sekarang. Jadi saya seolah 3 semester awal kok ya hanya belajar Ma-Fi-Ki. Padahal Kimia ya tidak dipakai di teknik Arsitektur. Mana saya remedial pula, dapat nilai D.

Saya lihat, sekarang tetap ada sih TPB tetapi sejak tahun pertama sudah dijuruskan ke program studi sesuai pilihan dan nilai index prestasinya. Ada jurusan yang menuntut IP tinggi jadi persaingan ketat.

Kuliah di teknik Arsitektur buat saya menyenangkan karena suka dengan mata kuliahnya. Walaupun banyak tugas dan harus begadang ya dijalani saja.
Menariknya materi kuliahnya itu harus membuat karya, merancang, jadi kayak ada sesuatu gitu lah hasil kuliah. Ada matakuliah studio berupa simulasi proyek, hasilnya berupa gambar, maket, pokoknya ada produk.

Saya melihat kakak perempuan di Jakarta kuliah di jurusan Kedokteran. Itu ya, belajarnya sampai nungging-nungging menghafal, tapi kayak engga terlihat hasil kuliah. Hehe…kecuali dia jadi dokter gitu ya.

Saya termasuk biasa-biasa saja sih, bukan mahasiswa berprestasi. Pernah sakit dimasa kuliah, sampai harus dirawat di RS. Saya kena hepatitis A (sakit kuning), sakit yang banyak mendera anak-anak AR. Selain tipus atau lever. Duh berat amat kuliah di AR…

Akibat sakit ada beberapa matakuliah studio yang tertinggal. Tahu sendiri, dosen di ITB tuh kan killer-killer, kayak engga mau tahu kita sakit. Mengumpulkan tugas, karena terlambat, karena sakit, ya tetap tidak lulus.
Ya karena terlambat itulah…
Aturannya memang di jurusan Arsitektur, tugas harus dikumpulkan tepat waktu.
Konon sih, karena di proyek sesungguhnya memang ada deadline dan harus ontime.
Bagus sih…

Tantangan Perempuan Berprofesi di Dunia Arsitektur

Dulu seangkatan ada 75 mahasiswa, 14 diantaranya perempuan. Waktu itu memang populasi perempuan yang seangkatan hanya 10% lah dari seluruh mahasiswa ITB.
Semasa kuliah sih tidak ada masalah, tidak ada perbedaan mau kita perempuan atau laki-laki, yang dilihat kan pinter atau enggak.

Justru saya merasakan perbedaan ketika kerja praktek di lapangan. Dunia Arsitektur identik dengan membangun bangunan, proyek, keteknikan, dan berurusan dengan tukang dan kuli.
Waktu itu masih aneh perempuan sekolah teknik dengan gelar insinyur. Itukan dunianya cowok.
Ya memang juga, mandor dan tukang kayak enggan gitu melihat perempuan yang secara keilmuan lebih tahu dari mereka.

Disinilah saya rada gamang, di kampus tidak ada perbedaan, di lapangan beda lagi.
Kecuali memang saya bekerja di konsultan yang tidak perlu harus sering mengawasi pekerjaan di proyek.
Tapi ternyata ada masalah lain, saya tidak betah duduk dari jam 08-17 setiap hari, kerja kantoran.

Akhir Cerita

Akhirnya setelah nyaris drop out, karena kuliah lebih dari enam tahun, saya lulus juga. Bulan depannya langsung menikah dengan teman seangkatan kuliah beda program studi, sembilan bulan kemudian punya anak.
Kloplah saya bergelar Ir (insinyur) plus T, alias IRT, ibu rumah tangga.
Dua tahun di rumah saja, pada suatu hari ada tawaran mengajar sebagai dosen di kampus yang dikelola salah seorang kerabat. Waktu itu masih boleh S1 mengajar.
Ternyata enak juga mengajar, saya bisa mengatur waktu kerja di luar rumah.
Suami juga tidak banyak persyaratan, cuma pesan, asal rumah beres. Oke deh…

Pada suatu hari, ada iklan di koran Pikiran Rakyat, tes masuk PNS di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menjadi tenaga edukatif di perguruan tinggi swasta.
Saya lolos tes dan ditempatkan di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung.
Selanjutnya saya studi lanjut kembali ke kampus gajah, dan masih mengabdi sebagai ASN hingga sekarang.

Apakah saya menyesal kuliah di jurusan (sekarang jurusan diganti menjadi program studi) Teknik Arsitektur? Tentu saja tidak. Walaupun tidak terlalu sering mroyek, karena ada persyaratan sertifikasi, dunia arsitektur merupakan dunia yang menarik bagi saya.

banner tantanan blogging MGN

5 pemikiran pada “Suka-Duka Kuliah di Teknik Arsitektur”

  1. Sebelum TPB ada matrikulasi ya ? Wah… Awal tahun ajaran bergeser dari januari ke juli itu , bikin masa sekolah terasa panjaaaaang sekali.

    Balas
    • Menarik bgt Bu membaca cerita bgmn dulu di th 77 … masih inget bgt pula ya Bu seluk-beluknya. Papa saya SI 70, skrg kl saya tanya udah lupa semua kenapa dan gimananya ambil jur tsb.

      Oya sy baru tau kl dosen di univ swasta jg bisa jd PNS .. aturan utk usia pensiunnya gmn ya Bu?

      Balas
  2. Halo Heidy, makasih udah mampir.
    Semua dosen di PTS dan PTN sama aturannya, pensiun usia 65 thn.
    Bedanya kalo ASN ditempatkan di PTS, gajinya dr pemerintah. Kalo dosen Yayasan, gajinya dr Yayasan.

    Balas
  3. Mana saya remedial pula, dapat nilai D –> samaa sih teh! hehee. kayaknya MGngeblog ini banyak jur arsi yaa teh, serem juga ampe banyak yg “bergelimpangan” krn tugas2nya di arsi, huhee.. salam kenal yaa teh!

    Balas
  4. Memilih kuliah tapi tak tahu nanti kalau lulus mau ngapain, ini mah saya banget bu, eh akhirnya jadi IRT juga lumayan sambil freelance proyekan dosen sih tapi setidaknya kuliah kepake lah dikit2 hihih

    Balas

Tinggalkan komentar