[ReviewBuku] The Geography of Faith-Pencarian Tuhan di Tempat-tempat Paling Religius di Dunia dari Tibet sampai Yerusalem

Ketika membuka paket dari Penerbit Mizan dan membaca judulnya “The Geography of Faith-Pencarian Tuhan di Tempat-tempat Paling Religius di Dunia dari Tibet sampai Yerusalem”, reaksi saya antara senang banget dan berat banget.
Senang banget, dipercaya Mizan untuk mereview sebuah buku.
Iya berat, soalnya bukunya setebal 500 halaman.
Tapi bersyukur banget juga, karena momennya cocok dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang, yang sedang diuji tentang masalah yang mirip.

Buku “The Geography of Faith” merupakan perjalanan Eric Weiner untuk mengeksplorasi delapan aliran kepercayaan yang ada di dunia.
Semuanya dijelaskan satu persatu dalam delapan bab yang membacanya perlu konsentrasi dan belum berhenti bila belum selesai.

img_20161125_235522
The Geography fof Faith

Penulis :Eric Weiner
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Penerbit:Qanita
Cetakan I:September 2016
Halaman :500
Ukuran :135 x 200 mm
Berat :400 gram
Bahasa :Indonesia
ISBN: 978-602-402-040-8
Harga :Rp85,000

Prolog
Buku ini diawali ketika Eric Weiner dalam keadaan sakit tak berdaya, kemudian suster yang merawatnya membisikkan kata:

“Sudahkan kau menemukan Tuhanmu?”

Eric Weiner memang seorang Yahudi yang tidak serta-merta memeluk agama yang sama dengan leluhurnya.
Kata perlahan namun mendalam dari Sang Perawat menghantui Weiner setelah dia pulih dari sakitnya.
Mulailah dia melakukan perjalanan ke beberapa tempat di dunia, ikut terlibat, dan menyaksikan berbagai ritual keagamaan. Sehingga menurutnya, agama paling tidak membantu mengatasi-kalau bukan menjawab-tiga pertanyaan besar yang ada dalam kehidupan setiap manusia. Yaitu: Dari mana asal usul kita? Apa yang terjadi ketika kita meninggal? Dan, bagaimana cara kita menjalani kehidupan?

Bagian 01
Sufisme: Tuhan itu Cinta
Weiner mengawali perjalan mencari Tuhan ke Utara, ke kawasan California untuk bergabung dengan kamp kaum Sufi di sana. Di sini dia rancu antara Islam yang berarti ‘tunduk’sekaligus ‘damai’, bisa menimbulkan ketakutan, kekaguman, kebingungan, dan perasaan diamati.
Islam bisa tampak sekeras dan seganas gurun Arab, tetapi juga bisa lembut dan hangat.
Hampir seminggu di kamp Sufi ternyata tidak memuaskan Weiner, karena menurutnya, kamp ini menawarkan lebih dari sekadar Sufi. Anak-anak tahun 60-an telah mengimpor Sufisme Islam, mengekstraksi bagian Sufi-nya, dan justru membuang bagian besar Islam-nya.

Tidak puas dengan hasilnya, Weiner berpikir akan mempelajari Sufi ke Turki, tempat asal para darwis berputar.
Diapun mulai membuka biografi Rumi, seorang pujangga yang diklaim Turki sebagai milik mereka karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di sini.
Perjalanannya membawanya ke sebuah Tarekat Mevlevi, dan belajar gerakan sema, upacara berputar, yang dipenuhi simbolisme.
Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan. Sudahkan aku menemukan Tuhan-ku?
Kenapa aku harus tunduk terhadap apa pun?
Apakah aku tunduk karena takut, atau cinta? Jauh lebih mudah jika kita tunduk karena cinta. (halaman 90)

Bagian 02
Buddhisme: Tuhan itu Kondisi Pikiran
Kali ini perjalanannya membawanya ke Kathmandu.
Weiner berjumpa dengan banyak orang di kesempatan berbeda, dan berdiskusi dengan mereka.

Buddhisme justru agama yang paling positif di dunia.
Tak ada dosa asal, dan karena itu pula tak ada kesalahan. (halaman 131)

Berbagai sesi dihadiri oleh Weinar, bergabung dengan penganut Buddha lainnya.
Dalam beberapa hal, Weiner menjumpai kemiripan antara ajaran Buddha dan Alkitab.
Kekristenan dan Buddhisme sama-sama mengajarkan perdamaian, kasih sayang, dan berpantang terhadap kesenangan duniawi.

Bagian 03
Fransiskan: Tuhan itu Pribadi
Penampungan tunawisma yang dikelola biarawan Fransiskan di Bronx Selatan, New York, merupakan sebuah tempat dimana Weiner mendalami ordo ini.
Perkenalannya dengan Bruder Crispin membawanya pada suatu titik, segala sesuatu dimulai dengan doa, yang tidak dilakukanya selama ini.
Kehidupan Fransiskan nyaris seperti pertapa dengan jubah bertudung dari abad pertengahan, tanpa rekening bank, dan kartu kredit, ponsel, serta semua perangkat elektronik.
Melalui buku yang diberikan Bruder Crispin, Weiner mempelajari sosok Fransiskus dari Assisi, pendiri ordo Fransiskan.
Fransiskus percaya bahwa kita harus mengosongkan diri, sebelum Tuhan bisa memasuki kehidupan kita. Kemiskinan tidaklah merepresentasikan perbudakan, tetapi kebebasan, karena tidak memiliki apa-apa.
Hubungan dengan Tuhan adalah hubungan pribadi.
Tapi pencarian Weiner akan Tuhan tidak membuatnya bertahan di penampungan ini.
Ada pertanyaan besar, Bisakah aku mengambil lompatan besar dan mendedikasikan hidupku untuk menolong orang lain? (halaman 238)
Kemiskinan, kedermawanan, dan kepatuhan, sehingga nyaris seperti Yesus, tidak mungkin bisa dijalaninya.
Weiner masih menyukai benda, dan mencari berbagai pengalaman, yang membawanya ke perjalanan berikutnya.

Bagian 04
Raelisme: Tuhan itu Jauh di Luar Sana
Penganut Raelisme disebut Raelian, agama terbesar berbasis UFO. Percaya bahwa ada ras asing luarbiasa pandai bernama Elohim, dan diyakini menciptakan umat manusia di bumi, 25.000 tahun yang silam.
Weiner melakukan perjalanan ke Las Vegas dan bergabung dalam sebuah pertemuan kaum Raelian.
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam dada Weiner, misalnya apakah mungin agama hanya didasarkan pada mencari kesenangan. Kemudian berbagai atribut luar angkasa, dan futuristik yang dikenakan oleh Rael, sang ‘Rasul’, wartawan kurang penting yang dianggap sebagai perantara dengan Elohim, mahluk luar angkasa pencipta penduduk bumi.
Seminggu bergabung dengan kelompok ini menimbulkan ketidakpuasan baru, karena menurut Weiner, Raelian hanya mengajarkan bersenang-senang.
Raelian memuja teknologi secara ekstrem (‘Sains adalah agama kita’).
Tetapi, bukankah kita semua seperti itu? (halaman 282)

Bagian 05
Taoisme: Tuhan itu Bukanlah Apa-apa
Perkenalannya dengan Bill Porter membawanya mengenal agama Tao lebih dalam.
Taoisme adalah agama yang tak terbentuk.
Taoisme menyampaikan pengetahuan jenis lain, yang bukan berdasarkan konsep, atau logika kasar, melainkan indra intuitif terhadap berbagai hal.
Lao Tzu mengajarkan kita untuk gagal, kata Bill.
Tidak puas dengan Bill, membulatkan tekadnya untuk pencarian ke tempat asal Tao, Cina.
Bersama sekelompok orang Amerika, Weiner sampai di dasar Gunung Wudang, gunung paling suci di Cina. Puluhan kuil Tao tersebar di puncaknya.
Merasa ada masalah dengan chi, Weiner bertemu dengan Master Zhong untuk bermeditasi dan menyuburkan chi.
Dari Gunung Wudang, pencariannya dilanjutkan ke Gunung Qingcheng, untuk mengikuti retret misterius bernama Istana Buku.
Dari Madam H didapatkannya penjelasan, bahwa dia tak ada masalah dengan chi yang tersumbat.
“Kau tidak memilih agama, agama yang akan memilihmu. Kau akan tahun begitu kau siap.” (halaman 338)

img_20161125_235648
halaman dalam buku “The Geography of Faith”

Bagian 06
Wicca: Tuhan itu Ajaib
Perjalanan Weiner kali ini sampai ke Washington DC untuk bertemu dengan Jamie Sang Penyihir.
Wicca tidak hanya menawarkan satu Tuhan, tetapi ratusan.
Dengan kata lain, Wicca adalah keyakinan yang sempurna bagi orang-orang yang kurang cocok berkomitmen.
Jika gagal dengan satu tuhan, kita dapat mencari yang lain. (halaman 350)
Meski demikian, Weiner merasa tidak cocok dengan Wicca, karena menawarkan terlalu banyak pilihan.
Baginya Wicca hanyalah salah satu cara menciptakan ritual segar, menjauhi kuil serta doktrin, dan memilih hutan serta liturgi yang ditulis dengan cepat.

Bagian 07
Syamanisme: Tuhan itu Seekor Binatang
Syamanisme, seperti mitologi, merupakan bentuk awal dari psikologi.
Masih di Washington DC, Weiner hadir di sebuah lokakarya Syaman.
Syaman percaya mereka bisa terhubung lagi dengan kekuatan yang dulu dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan ruh binatang. Binatang dianggap luar biasa kuat jika dapat mengambil bentuk rupa manusia atau jika dapat merangarahkan elemen yag tidak dimilikinya. (halaman 388)

Bagian 08
Kabbalah: Tuhan itu Rumit
Kali ini perjalanan Weiner sampai di pinggiran kota Tel Aviv, suatu daerah bernama Tzfat (dibaca Safed), untuk mempelajari Kabbalah.
Perkenalannya dengan Eyal, Moshe (penganut Katolik), Yedidah, David, dan membaca berbagai buku, membawanya berdikusi tentang Kabbalah.
Aku menyebutkan sesuatu yang kubaca tentang bagaimana Kabbalah mengajarkan bahwa bukan saja manusia membutuhkan Tuhan, tetapi Tuhan juga membutuhkan manusia.Bagiku ini sangat menarik. Tuhan membutuhkan kita? (halaman 415)

Epilog
Tuhan: Dibutuhkan Himpunan
Agama yang buruk merendahkan kita.
Agama yang baik meninggikan kita, menjadikan kita orang yang lebih baik daripada yang kita sangka, atau daripada yang mungkin kita bayangkan. (halaman 478)

Membaca halaman demi halaman “The Geography of Faith-Pencarian Tuhan di Tempat-tempat Paling Religius di Dunia dari Tibet sampai ke Yerusalem”, jelas-jelas menambah wasasan saya tentang keberagaman. Apalagi Weiner menuliskan bukunya dengan ringan, rinci sitasi sumbernya, laiknya seperti buku ilmiah.
Kadang uraiannya runut, kadang flash-back ke masa lampau, yang tujuannya memperjelas jalan cerita.

7 pemikiran pada “[ReviewBuku] The Geography of Faith-Pencarian Tuhan di Tempat-tempat Paling Religius di Dunia dari Tibet sampai Yerusalem”

  1. Sy sdh baca bukunya.
    Dan memang sangat cocok dgn kondisi Indonesia.
    Jika ad seorang yg begtu fanatik dgn agamanya. Mungkin pikirannya sedkit terbuka dgn bacaan ini.
    Mungkin menimbulkan keraguan, atau bahkan memperkuat keyakinannya.
    Sy sndri malah muncul pertnyaan baru.. Hahaaa

    Balas
    • Saya jadi baca lagi reviewnya. Ternyata masih cocok ya dng kondisi Indonesia. Apalagi ada kasus artikel ttg “Agama Warisan” yg rame itu. Jangan2 penulis artikelnya udh baca ya? Hehe…Makasih ya sudah mampir…

      Balas

Tinggalkan komentar