Bicara masalah rumahtangga tidak lepas dari urusan dapur dan sumber pasokannya. Sumber tersebut berasal dari pasar, supermarket atau tukang-sayur keliling di kompleks. Tukang-sayur keliling dapat dikatakan sebagai penyelamat dapur, karena mereka meringankan kerja ibu rumah-tangga yang tidak sempat ke pasar atau supermarket.
Keuntungannya, kita bisa membelinya dalam jumlah sedikit, cukup satu kali masak di hari itu. Kerugiannya, pilihan sayur dan daging tergantung jenis yang dibawa oleh tukang-sayur. Di era modern seperti sekarang ini, walaupun pilihan sayur dan daging terbatas, para ibu tidak perlu khawatir. Ibu bisa pesan ke Mang Sayur langganan via telpon selular, untuk dibawakan keesoka harinya.
Tukang-sayur di kompleks tempat tinggal saya mulai menjajakan dagangannya sekitar jam 6 pagi sampai kurang lebih jam 11 siang, dengan wilayah edar yang rupanya telah disepakati bersama diantara sesama tukang-sayur tersebut.
Biasanya mereka membeli barang kebutuhan dari pasar Ciroyom kemudian sebelum keliling kompleks barang-barang tersebut dipilah dan dibagi dalam plastik-plastik yang lebih kecil. Misalnya daging 1 kilogram, dibagi menjadi ukuran masing-masing 1/2 kg. Begitu pula ayam, ikan, sayur dan lain-lain.
Ada dua lokasi tempat para tukang-sayur tersebut membagi dan memilah dagangannya. Satu di dekat masjid Al-Ikhlas di jalan Rajamantri Wetan dan satu lagi depan laboratorium “Bio-Test” di jalan Kayu Agung.
Tukang-sayur keliling ada yang wanita dan pria. Yang wanita, kami memanggilnya Bi-sayur, kalau pria, Mang-sayur.
Selain kelompok Bi dan Mang-sayur tadi, ada sepasang penjual sayur, yang mangkal di gang dekat rumah. Mereka adalah pasangan penjual sayur, Yenny dan suaminya, Dian. Yenny adalah anak Mang Umar, yang beberapa tahun yang lalu berdagang di gang ini bersama istrinya. Rupanya ada juga dinasti diantara tukang sayur.
Pasangan ini walaupun amempunyai Triseda, menggelar dagangannya di brand-gang antara jalan Kayu Agung dan Guntur Sari Kulon. Pasangan Yenny-Dian berdagang tiap hari dari jam 05:30 hingga kira-kira pukul 08:30.
Kecuali Jum’at dan Minggu, mereka libur. Tuh, kan, tukang sayur saja sudah bisa menetapkan, berjualan hanya lima hari kerja.
Dulu saya berlangganan dengan Bi Nyai. Bi Nyai, mempunyai adik, Bi Ade. Mereka semua tiga bersaudara Bibi-sayur. Sekarang saya jarang membeli dari Bi Nyai, karena baru sampai ke wilayah tempat tinggal saya siang hari.
Sementara pagi hari saya berangkat kerja.
Ada juga perilaku Bi Nyai yang tidak saya sukai. Yaitu kebiasaannya “jual dedet”. Istilah bahasa Sunda, untuk memaksakan kita membeli barang dagangannya. Caranya, misalnya dengan menitipkan daging ke pembantu saya, kalau saya sudah berangkat kerja. Padahal saya tidak ingin membeli daging dan demi alasan kesehatan serta ekonomi, memang mengurangi menu daging.
Lalu saya berlangganan ke Mang Acun dan sekarang ke Ujang. Ujang ternyata keponakan Mang Acun.
Bahkan gerobak dorong si Ujang merupakan warisan Mang Acun. Pasangan Yenny-Dian pun sebetulnya keponakan Mang Acun.
Masih ada tukang-sayur lainnya yang setia berkeliling kompleks. Ada Mang Daud – yang ternyata menantu Mang Acun, ada Mang Engkos…
Atau Mang Yiiiir.
Karena kami tidak tahu namanya, tapi Mang-sayur ini berteriak dengan lantangnya menjajakan dagangan…YIIIIIR.
Kadang saya ingin melakukan penelitian, tukang sayur tersebut jelajah dan edarnya dari mana kemana ya? Seolah mereka mempunyai semacam nota kesefahaman, atau m.o.u, bahwa tukang sayur A wilayah edarnya jalan A-B-C.
Sedangkan tukang sayur B, wilayah edarnya jalan D-E-F. Kalaupun tukang sayur A merambah ke wilayah edar lain, biasanya berbeda waktu. Misalnya Bi Nyai itu, dia selalu datang siang sekali, biasanya ibu-ibu sudah selesai masak.
Pagi hari sudah ada beberapa tukang sayur lain yang lewat di depan rumah.
Pernah kejadian, saya membeli sayur dari Mang Ujang, karena kebetulan dia lewat, dan saya panggil. Ternyata pada saat bersamaan, Mang Acun lewat, dan dia ngomel panjang pendek ke Mang Ujang.
“Naha atu diladangan”, katanya. Artinya kenapa diladenin.
Maksudnya kenapa, Mang Ujang meladeni saya, karena jalan tempat tinggal saya adalah wilayah edar Mang Acun.
Wah, mirip-mirip tukang parkir, yang rebutan lahan parkir. Atau kalau sering nonton film kriminal tentang mafia, semacam rebutan daerah peredaran penjualan narkoba.
Saya terlalu lebay sepertinya.
Bila dikaitkan dengan elemen-elemen arsitektur kota, pedagang keliling atau pedagang yang mangkal sementara, termasuk dalam activity support atau pendukung aktivitas. Mereka secara formal tidak ada, misalnya bukan berupa bangunan fisik seperti halnya pasar atau supermarket. Tetapi keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk kenyamanan dan keberlangsungan kehidupan warga kota. Dalam satu area bisa terjadi, pagi hari yang berdagang tukang sayur, siang hari yang berdagang penjual milk shake.
edudia