Budaya Konsumtif akibat Jebakan Iklan?

Budaya konsumtif itu apa? Baca-baca beberapa sumber, maksudnya adalah tindakan kita membeli barang yang untuk alasan memuaskan kesenangan, dan tidak terlalu dibutuhkan. Pendeknya, hanya karena “ingin” saja. Budaya konsumtif ditengarai merupakan sikap pemborosan. Benarkah budaya konsumtif akibat jebakan iklan?

Dahulu, kira-kira tahun 1980-an, iklan pernah dilarang tayang di televisi. Seingat saya Menteri Penerangan waktu itu bapak Harmoko yang mengeluarkan peraturan tentang itu. Alasannya untuk mengurangi pola konsumtif masyarakat. Kebayang tidak, sih, tidak ada iklan di televisi?
Waktu itu juga, televisi adanya ya Televisi Republik Indonesia, alias TVRI. Sekarang masih ada juga, tetapi dibandingkan dengan televisi-televisi swasta lainnya, TVRI menurut saya yang paling kuno penyelenggarakan program acaranya. Dari dulu tidak ada ide baru, begitu-begitu saja.

Kembali ke alasan pemerintah, melalui Menteri Penerangan, untuk melarang iklan agar tidak timbul budaya konsumtif. Menurut teman-teman korelasinya di mana?
Kata bapak Menteri itu, karena jenjang kemampuan masyarakat Indonesia secara ekonomi masih belum merata, maka jangan ada iklan.
Contohnya, iklan sampo.
Kebiasaan mencuci rambut masyarakat di pulau Jawa, tidak sama dengan masyarakat di pelosok Papua. Bapak Menteri ini khawatir bila ada iklan sampo di televisi, maka masyarakat Papua jadi kepincut ingin beli sampo. Padahal kan mahal, padahal tidak perlu-perlu amat, biasanya juga kan tidak pakai sampo.
Aneh, kan, peraturannya.

Sejak televisi swasta bermunculan hingga lebih dari sepuluh perusahaan, dan di televisi swasta tidak ada peraturan tidak boleh tayang iklan. Maka mulai bermunculan lah iklan-iklan di televisi. Termasuk TVRI pun sekarang ikut-ikut menayangkan iklan juga.
Kita pun sehari-hari tak lepas dari iklan.
Tadinya tidak perlu-perlu amat ingin beli kopi dalam sachet rasa capucino, wong tadinya kopi tubruk biasa. Jadilah, saya beli juga di toko waralaba terdekat.
Tadinya saya tidak perlu-perlu amat beli pelembut kulit agar kulit selembut embun pagi, saya jadi kepincut ingin beli agar kulit saya selembut kulit bayi. Padahal kan tidak mungkin, wong kulit udah lewat setengah abad begini.

Iklan merupakan terjemahan dari advertising. Konon berasal dari bahasa Latin, advere, yang artinya memindahkan gagasan atau pikiran ke pihak lain. Kata-kata dalam iklan sebagian besar memang bersifat mempersuasi atau membujuk. Dunia bisnis sangat tergantung dengan iklan, karena melalui iklan masyarakat jadi tahu berbagai produk yang ada di pasaran. Coba lihat, iklan sekarang merambah ke segala arah. Dari mulai bangun tidur sampai mau tidur lagi, kita terpapar dengan iklan.

Misalnya pun teman-teman tak punya TV di rumah, di layar gawai tiba-tiba muncul pop-up. Itu tuh iklan yang tiba-tiba muncul bila masuk ke media online tertentu, kemudian kita dengan jengkel tekan-tekan layar gawai supaya iklannya skip. Bahkan Instagram, Facebook, dan hampir semua media sosial juga memberi kesempatan pada publik untuk memasang iklan. Keluar rumah, berbagai baliho dan spanduk mewartakan berbagai diskon dan produk. Bahkan badan angkutan umum pun dipakai sebagai media untuk iklan.

Apakah iklan itu berarti menipu? Menurut teman saya yang profesinya di bidang periklanan, iklan tidak menipu. Iklan hanya mendramatisir. Ya iya, masak ada susu bisa keluar naga putih menari-nari. Atau berkat makan biskuit bisa sekuat macan. Dan kalau tidak minum air merk tertentu, kita bisa linglung. Padahal air ya air saja, secara kimiawi rumusnya tetap H20.

Tinggal kita sebagai konsumen harus cerdas, berpikir seribu kali, perlu banget atau tidak dengan produk yang ditawarkan tersebut. Kalau tidak, bisa-bisa kita terjebak pada pola hidup konsumtif.

Sumber foto: Photo by Artem Beliaikin

Tinggalkan komentar