Mewujudkan Zero Waste Cities Melalui Memilah Sampah Rumah Tangga

“Paah…sampah!”…
Begitulah setiap pagi sekira pukul sembilan Pak Budi, petugas sampah, berseru menandakan kehadirannya untuk mengumpulkan sampah warga RW 04 Kelurahan Turangga, Bandung.
Di RW kami ini rata-rata warga menggantungkan kantong-kantong kresek berbagai ukuran di pagar halaman. Hanya beberapa rumah yang memiliki bak sampah di depan halaman. Itu pun tak aman karena sering diobrak-abrik kucing atau tikus.

Walaupun keluarga kami sudah berusaha memilah sampah organik dan anorganik, sayangnya oleh Pak Budi disatukan lagi ke dalam gerobak sampah. Memang gerobak sampah belum mempunyai desain khusus yang memisahkan antara sampah organik dan anorganik.

Sampah merupakan permasalahan kita semua yang harus bersama-sama mencari solusi yang tepat untuk mengurangi timbulan yang terjadi. Terutama adalah sampah plastik yang seperti kita ketahui sulit terurai yang berakibat mencemari tanah dan perairan dengan mikroplastiknya.

Di rumah tangga, plastik pun seolah tidak bisa lepas dari keseharian kita. Mulai dari pasar, bahkan pedagang pun mengemas sayuran dalam kantong-kantong plastik dalam berat 1/4 kg atau 1/2 kg, untuk alasan kepraktisan. Sehingga pembeli tinggal memilih yang diperlukan tak ubahnya di super market yang sudah dikemas dalam kemasan sekali pakai.

Bagi ibu-ibu yang tak sempat memasak, aplikasi makanan siap antar tersedia, lagi-lagi dengan wadah dalam bentuk sekali pakai atau bisa dipakai ulang. Tak pelak wadah-wadah plastik bekas “go food” pun menumpuk di rumah.

Belum lagi kemasan buble wrap yang hanya seumuran paket tersebut dalam perjalanan. Begitu sampai rumah dan unboxing, plastik dan kardus pun berakhir di tempat sampah.

Kepraktisan Yang Membawa Pencemaran Lingkungan

Sekitar tahun 1862 di sebuah Pameran Internasional di London, Alexander Parkes menemukan senyawa polimer sebagai awal penemuan plastik. Sejak itu dunia seolah tak bisa lepas dari plastik yang awalnya terbuat dari bahan alami, kemudian beralih ke plastik sintetis. Plastik sintetis berupa polyethylene mudah diproduksi masal, berbentuk tipis, memiliki bobot sangat ringan, dan awet.

Kemudian berkembang dengan penemuan baru polyethylene terephthalate (PET) dikembangkan khusus untuk untuk wadah makanan dan minuman. Produk plastik PET yang murah membentuk budaya sekali pakai, terbukti dari sekitar 500 miliar produk terjual setiap tahun. Angka ini diperkirakan terus meningkat di tengah maraknya penjualan makanan matang melalui layanan siap antar dan tuntutan kepraktisan dari masyarakat.

Dua abad kemudian setelah plastik ditemukan ternyata menimbulkan masalah pada lingkungan berupa sampah plastik dalam berbagai bentuk. Sifat sampah yang tidak mudah terurai membuat timbulan sampah di mana-mana dan menimbulkan pencemaran udara hingga ke laut.
Beberapa penelitian memprediksi bahwa di tahun 2050 akan lebih banyak sampah plastik daripada ikan di laut.

Perilaku manusia kala membuang sampah dalam kondisi tercampur dan menumpuk ternyata membuat proses terurainya sampah organik menjadi terhambat. Akibatnya berbagai gas menumpuk dalam timbunan sampah, misalnya gas methana, gas CO2, dan gas N2O. Bahaya ledakan gas inilah yang memicu terjadinya tragedi longsor TPA Leuwigajah di tahun 2005.

Penumpukan gas juga meningkatkan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim karena bumi semakin panas.

sampah harian kota Bandung

sampah harian kota Bandung, sumber: katadata

Membiasakan Perilaku Isi Ulang

Sebuah e-book berjudul “Refill Center Toolkit 101” yang diterbitkan oleh YPBB (Yaksa Perkumpulan Bumi Berkelanjutan) merupakan panduan untuk mengubah kita agar membiasakan perilaku isi ulang.
E-book ini terbit berdasarkan data karena di sekitar kita banyak sekali produk sekali buang yang kalau dibiarkan menjadi tidak terkendali. Terutama lagi adalah kemasan sekali pakai berbahan alumunium berlapis plastik berukuran kecil. Begitu kecilnya kemasan sekali buang ini sehingga seringkali lolos, hanyut di perairan, dan mencemari tanah.

Membiasakan perilaku isi ulang dapat diterapkan dengan persiapan yang matang dan diterapkan pada produk yang kita gunakan sehari-hari. Misalnya sabun cair untuk mandi, sabun cuci baju, sabun cuci piring, pembersih lantai, air isi ulang, hingga minyak goreng.

Contoh pada Toko Organis yang dikelola oleh YPBB memberikan gambaran persiapan yang harus dilakukan bila akan membuka toko serupa. Tampaknya toko-toko jenis ini harus diperbanyak guna memutus rantai penggunaan wadah plastik kemasan yang tidak terpakai lagi.

Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca dengan Zero Waste

infografik zero waste

infografis pengaruh pengurangan limbah pada perubahan iklim, sumber: YPBB

Perbagai sebab pemanasan global terjadi sekarang ini ternyata menurut penelitian 20% disebabkan oleh emisi gas metana yang berasal sampah. Untuk itu GAIA (Global Alliance for Incinerator Alternative) bersama dengan lembaga-lembaga jaringannya di seluruh dunia mempromosikan sebuah Solusi Zero Waste.

Solusi Zero Waste adalah langkah pengurangan emisi gas rumah kaca dengan sistem nol sampah dalam tiga cara, yaitu:

  1. Pengurangan sampah sejak dari sumber, pengumpulan terpilah, dan pengolahan sampah organik
  2. Penggunaan kompos di tanah dapat meningkatkan penyerapan karbon tanah
  3. Daur ulang seluruh aliran sampah kota mengurangi emisi di hulu

GAIA bekerja sama dengan delapan kota di seluruh dunia untuk memulai program Zero Waste Cities. Kota-kota tersebut adalah:

  • Bandung, Indonesia
  • Dar Es Salaam, Tanzania
  • Detroit, Amerika
  • Durban, Afrika Selatan
  • Lviv, Ukraina
  • Sao Paolo, Brasil
  • Seoul, Korea Selatan
  • Temuco, Chili

Hasil kajian menerapkan Solusi Zero Waste ini di Bandung diprediksi pada tahun 2030 emisi gas rumah kaca akan berkurang secara signifikan.

Adapun penerapan program nol sampah ini telah diterapkan di Kelurahan Sekeloa dan Kelurahan Neglasari dengan cara melalukan pengumpulan sampah terpisah dan pendampingan pengolah sampah.

Peran Serta Rumah Tangga Mewujudkan Zero Waste Cities

Berbagi pengalaman dari dua kelurahan Sekeloa dan Neglasari bahwa kunci keberhasilan mewujudkan kota Bandung bebas sampah adalah dari sumbernya.
Menurut data-data 70% sampah yang kita buang memang berasal dari kemasan makanan dan minuman. Kemasan tersebut bisa saja berupa kantong plastik hasil belanjaan dari pasar atau makanan minuman sekali pakai.

Berikut berbagai upaya yang bisa kita lakukan untuk memujudkan Zero Waste Cities tersebut:

Memilah Sampah dari Rumah Sampai ke Penampungan

Mengelola sampah dari sumber merupakan kunci terbesar mewujudkan zero waste cities ini. Masalahnya adalah tidak semua rumah tangga teredukasi pentingnya memilah sampah berdasarkan pada sampah organik, sampah anorganik, kaleng dan plastik kontainer makanan/minuman.

Di kompleks tempat tinggal saya di kelurahan Turangga belum ada himbauan untuk memilah sampah dari rumah, sehingga rata-rata warga menggantung sampah-sampah di pagar dalam kantong-kantong kresek bekas.
Kalaupun ada rumah tangga yang sudah memilah berdasarkan sampah organik dan anorganik, petugas pengumpul sampah menyatukannya dalam gerobak pengangkut sampah.

Untuk itu perlu sebuah desain khusus gerobak sampah yang memisahkan sampah-sampah tersebut. Atau ada hari-hari khusus kapan mengangkut sampah organik dan kapan mengangkut sampah anorganik. Tetapi itu pun perlu pengelolaan dari masing-masing rumah untuk tertib dan menjaga agar sampah tertutup agar tidak didatangi tikus atau hewan liar lainnya.

 

pemilahan belum merata

pengumpulan terpilah dan belum terpilah, sumber: YPBB dan pribadi

Menampung Sampah Anorganik

Video berikut yang menampilkan kisah sukses masyarakat dari tiga kelurahan yaitu Sukamiskin, Cihaurgeulis, dan Neglasari menunjukkan mereka berhasil mengurangi jumlah sampah sebesar 45,60% dari tahap awal, sebelum diangkut ke tempat penampungan sampah sementara.

https://www.youtube.com/watch?v=qAWdXnLYbI4&t=420s

Sampah yang dipilah dan dikelola dengan baik ternyata bisa mengurangi jumlah timbulan sampah. Jumlah plastik yang dikelola sejak awal bahkan mencapai 71,51 kg. Bayangkan misalnya seluruh kelurahan di kota Bandung sudah melakukan pemilahan sampah sejak dari sumbernya, pastinya timbulan sampah bisa lebih ditekan.

Pengomposan di Tiap Kelurahan

Konsep memilah sampah dari sumber memang bagus, bertujuan sampah organik tersebut dapat dikumpulkan untuk proses pengomposan. Nantinya kompos tersebut bermanfaat sebagai pupuk organik yang menambah kesuburan tanah serta bisa bernilai ekonomis.

Berikut adalah beberapa teknik pengomposan yang telah dilakukan di kelurahan yang menerapkan pemilah sejak dari sumbernya:

teknik pengomposan

sumber: YPBB

pembuatan lubang kompos di RW 7 Cihaurgeulis-Bandung, sumber: YPBB

pembuatan lubang kompos di RW 7 Kelurahan Cihaurgeulis, Bandung, sumber: YPBB

Masalahnya tidak semua rumah tangga mempunyai lahan yang cukup untuk menampung menjadi kompos tersebut. Seringkali warga membangun kapling rumahnya sampai penuh tanpa memerhatikan prosentase koefisien dasar bangunan.

Untuk itu ada baiknya tiap RW sampai ketingkat kelurahan ada diskusi mengenai tempat yang harus disiapkan demi terwujudnya program Solusi Zero Waste ini.

Contohnya di samping kompleks tempat saya tinggal berhadapan dengan TPA di jalan Rajamantri Wetan tersebut terdapat taman yang biasanya dipakai pengepul untuk memilah sampah. Tetapi sekarang dalam kondisi dipagari.

tempat pembuangan sampah sementara rw 04

tempat pembuangan sampah sementara dekat masuk kompleks perumahan

Penutup

YPBB yang membersamai kota Bandung berkomitmen mewujudkan kota bebas sampah, apalagi tempat pembuangan akhir di Sarimukti memang sudah overload. Semangat Zero Waste Cities ini juga sudah “menular” di kota-kota lain di Indonesia, yaitu:

  • Kota Cimahi (YPBB Bandung)
  • Kota Bandung (YPBB Bandung)
  • Kota Denpasar (PPLH Bali)
  • Kabupaten Gresik (ECOTON)
  • Kab. Bandung (YPBB Bandung)
  • Kab. Karawang (YPBB Bandung)
  • Kab. Purwakarta (YPBB Bandung)

Untuk itu perlu kesadaran dari seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia, bahwa pemilahan sampah dari sumber harus dimulai dari rumah tangga. Selain itu perlu juga disertai dengan menghentikan produksi barang-barang dalam kemasan sekali pakai terutama yang berukuran kecil.

Kita tidak mau kan bumi tempat kita tinggal seperti yang diilustrasikan pada gambar di bawah ini

ilustrasi “Turn Off Plastic”, karya Benyamin Wong, sumber: YPBB

Semoga bermanfaat.

 

Sumber:
Mochammad Fatchur Rohman, Fictor Ferdinand, Egnas Sukma Fathurohmawati, Isna Muflihah Mulyaningrum; “Refill Center Toolkit 101”; YPBB (Yaksa Perkumpulan Bumi Berkelanjutan)
https://www.no-burn.org/zerowaste-zero-emissions/
https://aliansizerowaste.id/zero-waste-cities/
https://www.idntimes.com/science/discovery/dina-stevanye/fakta-sejarah-plastik
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/11/12/10-negara-penyumbang-sampah-plastik-terbanyak-ke-laut-ri-peringkat-berapa
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/08/02/sampah-harian-warga-kota-bandung-terbanyak-se-jawa-barat

6 pemikiran pada “Mewujudkan Zero Waste Cities Melalui Memilah Sampah Rumah Tangga”

  1. nyesek juga ya Mbak, kita udah pilah sampah dengan baik tapi pada akhirnya disatukan lagi ama petugas sampah karena belum semua gerobak sampah didesain dengan pemilahan sampah organik dan anorganik ya 🙁
    setuju nih, semoga kedepannya setiap RW bisa rembugan ya buat bahas mengenai sampah ini.
    jujurly di tempat tinggalku masih jauh nih dari kata zero wastenya, lah sampah masih berhamburan dimana-mana 🙁

    Balas
  2. setuju sih Teh kalau rumah tangga berperan penting terkait sampah. Sayangnya memang fakta dilapangan benar adanya kalau meskipun kita memilah sampah dari rumah, sampah tersebut tetap disatukan di TPA atau TPS. Jadi solusi saya, sampah plastik dan kertas tidak saya buang bersamaan dengan sampah lain, tapi langsung saya serahkan pada pemulung sampah plastik dan kertas yang kebetulan dekat rumah saya. yang masih jadi PR adalah sampah organik, saya masih mencari cara untuk membuat kompos diruang terbatas alias tidak punya lahan sama sekali. kalau di korea sih saya lihat sudah ada teknologi kompos semacam mesin. semoga teknologi tersebut segera masuk ke Indonesia.

    Nah bicara soal teknologi, setuju kalau teknologi menghasilkan budaya praktis sekali pakai. emang praktis tapi dampaknya terlalu besar terhadap lingkungan. campaign daur ulang atau menggunakan misting untuk beli makanan masih harus terus digencarkan. yaahh minimal kalau ke minimarket hanya beli 1-3 barang yang bisa masuk kantong atau saku ya gak usah pakai kantong plastik minimarket. i think it could make different even from small thing.

    Balas
  3. Saya membayangkan kalo praktik baik ini bisa semua orang menerapkannya, pasti luar biasa hasilnya. Bisa dimulai diri sendiri. Dari rumah atau dari tempat kerja kita

    Balas
  4. Semangat Mba Haniiii. Aku dukung banget Bandung makin kinclong. Semoga kegiatan-kegiatan positif kayak di Kel Turangga, Cihaurgeulis, dan lainnya semakin diekspos dan menginspirasi kelurahan lainnya.

    Balas
  5. Pas nonton drakor sering ketemu scene memilah sampah. Di sana kayaknya udah jadi budaya. Semoga Indonesia juga bisa seperti itu. Lebih mencintai lingkungan meski tampak kecil yang dimulai dari memilah sampah rumah tangga.

    Balas

Tinggalkan komentar