Struktur Bangunan Tahan Gempa Belajar Dari Rumah Tradisional

Bangunan tahan gempa menjadi perhatian di beberapa media, baik media cetak maupun online. Hal ini disebabkan dalam beberapa hari berturut-turut terjadi gempa di beberapa daerah di belahan bumi yang berbeda.

Akhir tahun 2023 terjadi gempa di Laut Selatan yang terasa ke Pantai Pangandaran. Kemudian berita mengejutkan pada malam Tahun Baru terjadi gempa di Sumedang berskala 4.5 Magnitudo (M). Dampaknya cukup besar karena ribuan rumah mengalami kerusakan kecil-sedang-parah.

Kejutan awal tahun tak berhenti di sini, Jepang juga diguncang gempa berskala 7.5 M, yang berdampak kerusakan parah dan korban jiwa.

Mengenal Bangunan Tahan Gempa

bangunan tahan gempa

sumber: indonesiabaik

Kita sering salah paham bahwa dalam bayangan kita, bangunan tahan gempa adalah bangunan yang bergeming bila terjadi gempa. Padahal menurut ahli bangunan, pengertian bangunan tahan gempa bukan berarti bangunan tersebut bergeming terhadap gempa.

Bangunan tahan gempa artinya bangunan tersebut dirancang tahan terhadap gempa dengan perhitungan skala tertentu pada saat bangunan tersebut didirikan. Maka ketika terjadi gempa lebih kuat daripada daya tahan bangunan tersebut, tentu saja bangunan tersebut akan runtuh.

Misalnya, sebuah bangunan perhitungan strukturnya tahan terhadap gempa skala 8 M, maka bila getaran gempa melebihi kekuatan struktur bangunan yang dipersiapkan, maka risiko hancurnya bangunan akan terjadi.

Upaya mendesain bangunan dengan perhitungan struktur tahan gempa adalah agar penghuni mempunyai cukup waktu untuk segera meninggalkan bangunan. Bayangkan bila bangunan tidak disiapkan tahan terhadap guncangan, baru juga getaran 3 Magnitudo, atap bangunan sudah runtuh.

Itulah yang terjadi pada kejadian gempa di Cianjur 3,1 M dan Sumedang 4.5 M, ribuan bangunan mengalami kerusakan.

Berikut adalah upaya kita secara mandiri membuat bangunan lebih tahan terhadap gempa:

Struktur Bangunan Simetris

Bangunan a-simetris (tidak simetris) terlihat indah, tetapi ternyata kurang tahan terhadap gempa. Apalagi bila bentuk a-simetrisnya mempunyai tinggi bangunan yang berbeda.

Kalau mendesain, hal ini dapat diselesaikan dengan membuat struktur dilatasi, artinya secara struktur bangunan tersebut terpisah mulai dari pondasi hingga ke atap. Jadi seperti dua bangunan dempet tetapi strukturnya masing-masing.

contoh dilatasi bangunan tahan gempa

denah dan potongan bangunan menerapkan dilatasi pada sistem strukturnya

Menggunakan Material Bangunan Ringan

Penting diperhatikan adalah bentuk atap, struktur, dan bahan konstruksinya. Bila memakai struktur kayu, harus diperkuat dengan plat baja pada sambungannya. Secara berkala konstruksi kayu harus dicek apakah dimakan rayap, lapuk, dan lain-lain.

Material bangunan ringan terutama untuk bagian atap. Atap genting memang masih merupakan standar bahan penutup atap yang mudah didapat. Bisa menggunakan bahan atap steel deck, PVC, asphalt, dan lain-lain.

Pondasi Bangunan Kuat

Pondasi merupakan bagian dari struktur yang paling bawah dan berfungsi untuk menyalurkan beban ke tanah. Untuk itu pondasi harus diletakkan pada tanah yang keras. Kedalaman minimum untuk pembuatan pondasi, hingga campuran material untuk membangun pondasi harus sangat diperhatikan.

Batu pondasi sebaiknya terbuat dari baru kali atau batu gunung yang keras dan memiliki banyak sudut agar ikatan dengan mortar menjadi kuat.

Perhatikan jenis pondasi dan rencana tinggi bangunan. Seringkali pondasi tidak disiapkan desain dan kekuatannya, sedangkan ketika rumah sudah, pemilik ternyata menambah ketinggian bangunan.

Memakai Beton Bertulang

Masih ingat gempa Garut-Tasikmalaya tahun 2009 yang lalu? Banyaknya bangunan rubuh ternyata konstruksi dindingnya tidak diperkuat dengan kolom-kolom beton bertulang.

Harusnya setiap 9 m2 luas dinding (minimal 3×3 m2) diperkuat dengan kolom praktis.

Selain itu komposisi betonnya pun harus sesuai standar, yaitu terdiri dari campuran semen, kerikil, dan pasir beton. Tulangan beton juga harus memerhatikan ketentuan standar SNI.

Sayangnya di pasaran sekarang beredar tulangan beton yang diameternya tidak sesuai standar (lebih kecil). Misalnya beton 0,8 inchi, bila kita ukur, tidak tepat 0,8”. Istilah tukang, namanya 0.8 banci.

Belajar dari Arsitektur Tradisional

kampung naga, tasikmalaya

Rumah Kampung Naga, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya

Nenek moyang kita ternyata sangat sadar bahwa Nusantara terletak di Cincin Api (Ring of Fire), di mana bumi dipijak sering terjadi gempa.

Semua bangunan tradisional terbuat dari kontruksi kayu, bentuk simetris, dan berbahan atap ringan.

Konstruksi kayu pada atap terbuat dari kayu dengan umur kayu cukup tua, kering, dan tahan rayap. Teknik sambungan kayu tukang zaman dulu yang tidak memakai paku, tetapi pasak, justru membuat hubungan kayu lebih lentur. Sehingga bila terjadi getaran gempa, konstruksi kayu yang lentur, tidak otomatis roboh.

Itu sebabnya ketika terjadi gempa di Garut-Tasikmalaya, rumah-rumah di Kampung Naga, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, aman-aman saja.

Modernisasi membuat kita memilih material bangunan baru yang cenderung berat dan membangun lebih diburu waktu, untuk menghemat biaya tukang.

Material dinding lebih disukai berbahan bata atau hebel yang lebih ringan daripada bata. Teorinya, bata sebelum dipasang harus direndam air dulu supaya lebih homogen bila akan disusun dengan menambahkan bahan adukan. Kalau tidak direndam, bata akan menyerap air dari material adukan, sehingga berkurang daya lekatnya.

Sebetulnya ada penelitian menggunakan material bambu sebagai penguat dinding, lantai atau pengganti tulangan beton. Bambu dikenal kuat dan cukup lentur. Hanya saja, harus ada perlakuan khusus terhadap bambu, agar tidak mudah dimakan rayap. Selain itu bambu yang dipakai juga bambu khusus dan harus cukup umur.

campuran besi dan bambu untuk tulangan lantai beton

kombinasi besi dan bambu untuk tulangan lantai beton, sumber: omahmami

Penutup

Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh ahli bangunan tahan gempa di Indonesia tentang konstruksi tahan gempa. Sayangnya sosialisasi tidak banyak diketahui oleh kontraktor, mandor, atau tukang-tukang yang langsung melaksanakan di lapangan.

Selain itu belum ada regulasi yang ketat terhadap bangunan tahan gempa seperti halnya di Jepang. Bangunan tahan gempa pun dianggap lebih mahal karena penuh perhitungan ini-itu.

Di Jepang setiap bangunan dirancang dan dihitung kekuatan strukturnya untuk tahan terhadap guncangan gempa hingga skala 8 M. Selain itu di zaman moderen ini, bangunan tradisional Jepang dengan struktur kayu masih diminati sampai sekarang.

Berbeda dengan di Indonesia, semakin bertambah kemampuan ekonomi seseorang, maka akan membangun rumah gedung bertingkat. Rumah tradisional dianggap kurang layak.

Semoga bermanfaat.

sumber: pupr

7 pemikiran pada “Struktur Bangunan Tahan Gempa Belajar Dari Rumah Tradisional”

  1. Pas banget ini ngobrol sama temen di WA tentang kejadian gempa di Jepang. Kayak yang, betapa beruntungnya mereka ketika terjadi gempa, ada keyakinan kuat dari mereka bahwa bangunannya akan aman sehingga migitasi bencananya dapat dimaksimalkan.

    Belajar dari rumah tradisional, di Sumatra Selatan ada juga “Rumah Ulu” yang didesain juga tahan gempa. Aku gak begitu paham soal struktur bangunan, yang jelas penopangnya itu dikasih “bantalan” kayu lagi dan dipasang horizontal, sehingga kalau terjadi guncangan rumah akan bergoyang mengikuti gerakan dari bawah tanah.

    Semoga ke depan rumah-rumah di Indonesia sudah pakai struktur tulang begini. Memang agak mahal, tapi demi keselamatan keluarga kan ya. Terutama daerah-daerah rawan gempa.

    Balas
  2. Tradisional bukan berarti tak kuat ya. Nyatanya konsep “pasak” yang digunakan di bangunan tradisional itu lebih melekat dan aman dari kemungkinan rubuh karena gempa. Lesson learn ini sih. Sudah terbukti dengan rumah-rumah tradisional Kampung Naga, Tasikmalaya. Kudunya hal seperti ini bisa jadi masukan untuk para developer yang peduli akan keselamatan penghuni rumah dari gempa.

    Balas
  3. Wah Mbak Hani mah satu alamamater dengan anakku ya? Teknik Sipil ITB
    Bedanya Mbak Hani mau bersusah payah menjelaskan sedangkan anakku irit bicara 😀 D

    Karena Sukabumi (tempat saya dilahirkan) sering terkena gempa, orang Belanda membuat rumahnya tahan gempa. Termasuk rumah yang saya huni.
    Mereka menggunakan bambu tua untuk dinding yang terbuat dari anyaman bambu
    Serta kayu dan batu (nah saya belum dapat penjelasan panjang lebar nih dari anak saya :D)
    Hebatnya, walau udah puluhan tahun (mungkin ratusan tahun) dan kerap terkena gempa, rumah-rumah tersebut masih kokoh

    Balas
  4. Ya Allah, saya serasa diingatkan lagi ke kampung halaman lho. Kampung Naga itu kampung halaman saya dari pihak bapak. Nenek kakek dan saudara kandung bapak semua dari Salawu. Hanya ada yg masih di Naga dan ada yang sudah keluar. Tapi masih di sekitaran juga sih seperti di Sukaratu dan Langkob. Ada juga yang di Nantang Cigalontang. Ah jadi kangen rumah nenek yang saya tempati selama tiga tahun saat sekolah SMP di Salawu

    Begitu juga ketika menceritakan gempa Cianjur dan Sumedang, otomatis karena sekarang saya tinggal dan domisili di Cianjur bahkan waktu ada gempa kan saya dan keluarga juga jadi korbannya. Tapi Alhamdulillah sekarang sudah lebih baik.

    Memilih bangunan rumah saat ini memang banyak mengedepan gengsi ya. Rumah nenek saya yang panggung saja, dianggap tak layak dan anaknya takut dikira gak mampu membangunkan rumah gedong (permanen, bukan panggung) oleh orang lain. Padahal kekuatan rumah panggung justru lebih baik dari segi ketahanan goncangan nya ya

    Balas
  5. Kadang memang yang tradisional itu yang lebih mantap. Cuma karena pergeseran tren. Yang tradisional dianggap nggak menarik.

    Balas
  6. Kemarin liat bangunan tahan gempa di Jepang. Beneran se-fleksibel itu yaa..
    Jadi goncangan sampai berapa skala richter masih kuat, sehingga minim kerusakan dan kerugian. Keren banget mempelajari dan menerapkan bangunan tahan gempa di Indonesia, terutama di daerah rawan gempa.

    Balas
  7. Ternyata, nggak harus selalu mengidolakan Jepang sebagai negara dengan teknologi bangunan tahan gempa sebab di tanah air juga ada. Sayangnya memang regulasi dan sosialisasi di tanah air sih ya yang masih kurang banget sehingga pengetahuan soal membangun bangunan tahan gempa begini bisa lebih banyak diterapkan. Secara memang Indonesia berada di ring of Fire nih.

    Balas

Tinggalkan komentar