Pesta Adat Erau, Benteng Kearifan Lokal Kabupaten Kutai Kartanegara

Kesultanan Kutai Kartanegara dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki sejarah panjang. Di awali berabad lalu tentang berdirinya kerajaan bercorak Hindu bernama Kutai Martadipura di hulu sungai Mahakam, kemudian dilanjutkan oleh Mulawarman Nala Dewa. Menurut catatan sejarah Nusantara, kerajaan Mulawarman merupakan kerajaan tertua dengan ditemukannya prasasti Yupa di abad ke 5. Lebih awal daripada keberadaan Borobudur di pulau Jawa.

Di abad ke 14, Aji Betara Agung Dewa Sakti mendirikan kerajaan Kutai Kertanegara di muara sungai Mahakam. Di kemudian hari kedua kerajaan Kutai tersebut bersatu menjadi Kutai Kertanegara ing Martadipura. Dengan masuknya Islam, kerajaan kemudian menjadi kesultanan di abad ke 17, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Aji Muhammad Idris.
Pemerintahan Hindia Belanda melalui tangan VOC juga turut mewarnai tatanan pemerintahan raja-raja dari Kalimantan hingga Sulawesi. Penetapan raja secara sepihak oleh VOC disertai pula dengan penyerahan upeti kepada penguasa, mulai menimbulkan perlawanan ke pemerintahan Hindia Belanda.

Tradisi Erau sendiri mulai dilaksanakan ketika Aji Betara Agung Dewa Sakti masih belia saat upacara tijak tanah dan mandi ke tepian. Kata Erau berasal dari bahasa Melayu, eroh yang artinya riuh rendah, ramai, ribut, penuh suka cita. Suasana ramai dan penuh suka cita menggambarkan suasana pesta dan hajatan yang bermakna baik, bersifat sakral maupun hiburan.
Dalam perkembangannya, Erau adalah pesta rakyat yang diselenggarakan oleh pihak kesultanan, sebagai bentuk rasa terima kasih pemimpin untuk menjamu rakyatnya. Setelah berakhirnya masa pemerintahan kesultanan Kutai Kertanegara di tahun 1960 dan wilayahnya menjadi daerah otonom kabupaten Kutai, tradisi Erau tetap dipertahankan. Tujuannya tak bukan adalah untuk melestarikan adat budaya setempat sekaligus ajang festival kesenian dari nusantara dan mancanegara.

Erau, seolah mengingatkan pula bahwa pesta adat ini bukan sekedar peringatan hari jadinya kota Tenggarong. Ada pelestarian adat-istiadat berupa pemberian gelar kehormatan bagi tokoh masyarakat, Beseprah, Belimbur, dan terakhir mengarak replika naga bernama Mengulur Naga. Tak heran bila Pesta Adat Erau seolah sebagai jendela yang mengangkat kearifan lokal ke manca negara. Di sisi lain, berbagai pameran seni tradisional maupun kontemporer, kerajinan tangan, dan berbagai lomba turut mewarnai festival budaya bernama Tenggarong International Folk & Art Festival. Biasanya juga menghadirkan berbagai kelompok kesenian dari mancanegara yang turut memeriahkan acara TIFA ini.
Sejak akhir Agustus yang lalu, presiden Joko Widodo telah mengumumkan pemindahan ibu kota ke provinsi Kalimantan Timur, lokasinya di sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara dan di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara. Kita seolah diingatkan kembali, bahwa Kutai Kartanegara pernah mengalami kejayaan.

Pemindahan ibu kota bukan tak mungkin menimbulkan pergesekan budaya antara pendatang dan warga setempat di tahun-tahun yang akan datang. Adanya dua perhelatan terpisah tiap tahun yaitu Pesta Adat Erau dan Tenggarong International Folk & Art Festival, diharapkan menjadi benteng kearifan lokal yang tak lekang oleh waktu. [tri wahyu handayani]

Tinggalkan komentar