Mengamati Ragam Arsitektur Masjid di kota Solo

Mengunjungi dan mengamati ragam arsitektur masjid di kota Solo, atau kota dan negara lain selalu menarik perhatian saya. Walaupun dari segi tata ruang, masjid tersebut hampir sama semua, yaitu terdiri dari ruang salat, mihrab, ruang salat perempuan, tempat wudhu, toilet, dan ruang penunjang.

Saya selalu menemukan keunikan tersendiri di banyak masjid. Ada yang mengadopsi bentuk bangunan tradisional, ada yang merupakan replika masjid dari jazirah Arab, atau ada juga yang merupakan ide kreasi arsitek untuk mengolah bentuk baru.

Setelah jelajah keunikan Masjid Laweyan Solo yang diperkirakan masjid tertua di kota Solo, saya masih berkesempatan mengunjungi beberapa masjid lainnya dalam waktu berdekatan.
Saya mencoba menyusunnya berdasarkan lini masa dibangunnya masjid-masjid tersebut.

Masjid Agung Surakarta

gerbang masjid

 

Masjid Agung Surakarta adalah salah satu ikon kota Solo yang menyimpan sejarah panjang dan nilai arsitektur yang tinggi. Terletak di sebelah barat Alun-alun Utara Keraton Surakarta, masjid ini menjadi pusat kegiatan keagamaan dan juga menjadi salah satu destinasi wisata religi yang menarik.

masjid agung surakarta

Ruang salat utama Masjid Agung Surakarta, sumber: hani

pintu ke ruang salat

 

Dibangun pada tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768 atas perintah Sunan Pakubuwono III, masjid ini memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan perpindahan pusat Kerajaan Mataram Islam dari Kartasura ke Surakarta.

Salah satu keunikan Masjid Agung Surakarta adalah perpaduan arsitektur Islam dengan sentuhan khas Jawa.
Bangunan utama masjid beratap tumpang tiga yang struktur dan tiang utama penyangga atap terbuat dari kayu dengan konstruksi yang cantik dan rapi.
Di bagian depan terdapat serambi sebagai ruang tambahan salat dengan konstruksi kayu bercat biru turkis.

Masjid memiliki halaman yang luas yang digunakan untuk berbagai kegiatan keagamaan.

Mengamati Ragam Arsitektur Masjid di kota Solo

Masjid Al Wustho Mangkunegaran

 

Masjid Al Wustho Mangkunegaran yang berlokasi di Jalan Kartini Nomor 3, Ketelan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Masjid bersejarah ini dibangun pada 1878 oleh Pangeran Sambernyawa atau Kanjeng Gusti Adipati Arya Mangkunegara I. Dahulu bernama Masjid Mangkunegaran yang terletak di Kampung Kauman, Pasar Legi.

Bagian depan masjid, sumber: hani

Mirip dengan Masjid Agung Surakarta yang sama-sama mengadopsi Masjid Agung Demak yaitu atapnya atap tajuk (tumpang) tiga.
Masjid-masjid ini di bagian depannya terdapat serambi yang cukup luas.
Menilik sejarah Masjid Agung Demak, kemungkinan serambi Masjid Al Wustho pun dibangun sesudah bangunan utama masjid dibangun. Serambi pada masjid-masjid lama merupakan ruang tambahan untuk salat.

Ruang salat utama, sumber: hani

Di bagian depan serambi ada gerbang putih dengan kaligrafi berwarna hijau dan di sebelah utara terdapat menara yang cukup megah.
Menurut beberapa literatur, masjid ini dirancang oleh Thomas Karsten, arsitek Belanda, yang dikenal sebagai perencana kota dan juga arsitek Masjid Cipaganti di Bandung.

Beduk di serambi

Masjid Siti Aisyah

Dari rangkaian menyambangi masjid, Masjid Siti Aisyah justru paling akhir saya kunjungi. Waktu itu saya ditemani oleh sahabat bloger dari Solo mbak Sitatur Rohmah, wisata tipis-tipis kota Solo, dan menyempatkan salat lohor di sini.

masjid siti aisyah

Masjid Siti Aisyah, sumber: hani

Masjid Siti Aisyah menurut Principal Architects US&P, Her Pramtama, berbentuk kubus terinspirasi dari Ka’bah dan menyebutnya sebagai selubung yang melingkupi isi gedung. Itu sebabnya terlihat unik karena dari luar terlihat berbentuk kotak berlapis marmer dengan detail berupa celah di tiap sudut, sehingga tidak menyerupai masjid pada umumnya.

Masjid ini berasal dari wakaf Setiyo Joko Santosa beserta keluarga kepada Yayasan Siti Aisyah. Penamaan masjid Siti Aisyah adalah mengikuti nama ibunda Setiyo Joko Santosa.

Ketika masuk ke dalam, disediakan jubah maroon bagi pengunjung yang tidak menggunakan busana Muslim.
Masjid ini kecil, selesai dibangun tahun 2018, di atas lahan seluas 960 meter persegi dan terdiri dari 3 lantai.
Lantai dasar untuk ruang salat utama dan mimbar khotbah, di samping ada perpustakaan, atau bisa juga dipakai salat untuk Muslimah.
Wudhu terdapat di basement.

ruang perpustakaan dan salat akhwat

Perpustakaan dan ruang salat akhwat

Lantai satu untuk TPA dan dua ruang rapat. Sedangkan lantai dua dipakai untuk tempat salat Muslimah dan tempat wudhu juga.
Lantai satu dan dua ini hanya berupa mezanine di bagian belakang masjid, luasnya kira-kira 1/3 luas lantai dasar.
Sehingga kalau kita salat di ruang utama, sangat lega, karena plafonnya setinggi tiga lantai.

Ruang salat Muslimah di lantai dua, sumber: hani

Terdapat lift untuk memudahkan difable atau Muslimah lansia yang akan salat di atas.

Masjid Raya Sheikh Zayed

Dinamakan Masjid Raya Sheikh Zayed karena merupakan wakaf dari Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) untuk Indonesia, dan bentuknya pun mengikuti Sheikh Zayed Grand Mosque di Abu Dhabi, UEA.

masjid zayed

Masjid ini terletak di Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Peletakan batu pertama pada Februari 2021 dan dibuka untuk umum pada Februari 2023.

Terdapat 82 kubah dengan hiasan batu alam dan sebuah kubah utama yang merupakan gaya arsitektur Maroko. Masjid yang didominasi warna putih ini, dilengkapi perpustakaan, ruang VIP, dan basement untuk tempat berwudhu.

Desain mihrab masjid ini dihiasi ornamen batik khas Solo berwarna senada dengan marmer yang mengelilingi bangunan masjid. Pelatarannya menggunakan batu pualam putih serta marmer Italia. Karpetnya khusus didatangkan dari Turki dengan motif batik Pekalongan dan batik Solo.

Waktu saya dan suami menyambangi masjid ini, masih dalam tahap finishing sehingga belum bisa eksplor seluruh masjid.
Masjid yang terletak di sudut jalan ini terlihat sangat minim tempat parkir, sehingga kebanyakan pengunjung parkirnya di tepi jalan.

Masjid Saminah Sihyadi

Salah satu ragam arsitektur masjid ini baru beberapa bulan yang lalu saya kunjungi, ketika ada penelitian arsitektur bersama teman-teman peneliti di kota Solo.

Berlokasi di Jalan Tirtonadi Nomor 9, Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Surakarta, Masjid Saminah Sihyadi dibangun sejak tiga tahun silam dan dibuka untuk umum pada 2023.
Letaknya di tepi jalan, lahannya tidak luas yaitu 1000 meter persegi, bentuk dan besarannya mirip dengan Masjid Siti Aisyah. Hanya saja desainnya sangat berbeda.

masjid saminah sihyadi

Masjid Saminah Sihyadi, sumber: hani

Masjid berarsitektur unik yang dirancang oleh Thoat Fauzi, direktur PT Joso Architect, ini tidak ada kubah pada bagian atasnya.

Bila Masjid Siti Aisyah berbentuk kubus, Masjid Saminah Sihyadi dari depan terlihat berbentuk silinder, dengan finishing lapisan luarnya bergerigi mirip kulit buah salak.
Berbeda dengan Masjid Siti Aisyah yang clean & white karena berlapis marmer.

Fasad metal, sumber: hani

Ternyata bila kalian mendekati masjid, bentuk fasad lengkung tersebut hanya bagian lobby dan tempat wudhu. Sedangkan ruang salatnya berbentuk persegi tanpa dinding, hanya berupa jendela-jendela kayu.

Lapisan luar yang tampilannya menyerupai kulit buah salak tersebut terbuat dari metal berwarna cokelat tembaga, disusun miring yang berfungsi untuk mengalirkan udara.
Di sekeliling masjid pun terdapat kolam yang membantu membuat ruang salat menjadi sejuk.

ruang salat utama

Ruang salat dengan mimbar ke arah kolam, sumber: hani

Di bagian mihrab terbuka ke kolam dan dinding yang asri dengan tanaman rambat. Meja khotbah pun hanya terbuat dari material transparan, sehingga secara keseluruhan, ruangan salat semakin adem.

bersama teman

Foto bersama teman-teman peneliti di lobby masjid, sumber: hani

Penutup

Masjid sebagai tempat ibadah kaum Muslim, dari hari ke hari seolah tidak ada habisnya menjadi media arsitek berkreasi. Bentukan standar yang kaku bahwa masjid harus berkubah, awalnya dipatahkan oleh arsitek Ahmad Noe’man ketika mendesain Masjid Salman di Bandung tanpa kubah.

Ragam arsitektur masjid dari bentuk atap tajuk adopsi dari arsitektur tradisional, beralih ke kubah akibat pengaruh masjid di Timur Tengah, sekarang bermunculan bentuk-bentuk baru masjid tanpa kubah.

Apapun bentuk masjid, beberapa masjid di atas adalah masjid-masjid wakaf. Ternyata menurut penuturan teman saya Mbak Sita, masjid wakaf ada pe-er lanjutan bagi pengurus masjid dan masyarakat sekitar, yaitu membuatnya tetap makmur dan ramai dipakai jamaah untuk mengkaji ilmu Keislaman.
Kalau tidak, masjid akan sepi dan teronggok menjadi artefak bisu.

Semoga bermanfaat.

9 pemikiran pada “Mengamati Ragam Arsitektur Masjid di kota Solo”

  1. Masjid Masjid Siti Aisyah ini modelnya tidak umum masjid di Indonesia yang berbentuk kubus ya, Mbak, sedangkan Masjid Saminah Sihyadi ini sangat unik desainnya. Dan kedua masjid ini menunjukkan, bahwa masjid desainnya bisa lebh fleksibel, tidak harus dengan adanya kubah dan menara tinggi.

    Balas
  2. Mengetahui arsitektur masjid di daerah jawa tengah, tepatnya di Solo membuat say mera sabangga sebagai muslim. Betapa masyarakatnya begitu menghargainya mendirikan masjid unik sekaligusmenjadi lahan dakwah bahwa tempat ibadah membawa kemuliaan sebagai bentuk ibadah terbaik. Semoga aku bisa melakukan safar ke solo untuk mengunjungi masjid unik tersebut. Dulu pernah singgah ke masjib namira di lamongan saja, buatku terkesima.

    Balas
  3. Saya juga suka berkunjung ke mesjid yang terutama artistekturnya masih kental sama budayanya.
    Tapi kalau ketemu mesjid yang gelap dan kurang terawat agak sedikit horor masuknya, hehe.
    Kaya mesjid di dekat keraton kasepuhan cirebon, meski cuma sampe ruang sholat semi terbuka tapi saya kurang khusyuk solatnya ya karena itu tadi, agak kurang terawat. Padahal arsitekturnya cantik sekali…
    Jadinya karena horor (emang saya penakut juga) ngga jadi ambil foto2. Padahal rencananya mau dibikin tulisan, hehe

    Balas
  4. Jadi penasaran dengan Masjid Saminah Sihyadi , mirip masjid di Kota Baru Parahyangan yang didesain RK enggak?

    Pakubuwono dan Mangkunegaran ternyata peduli kemajuan agama Islam ya? Karena dalam masyarakat Jawa tradisional masih beragama kuat agama “keyakinan” yang masih condong ke animisme dan dinamisme

    Balas
  5. Seneng banget baca tulisan ini. Saya kebetulan pengen belajar soal arsitektur Mbak Hani karena belakangan sering diajak suami menjelajah beberapa masjid yang memorable. Kudu belajar nih sama Mbak Hani plus sedang mencari buku tentang arsitektur masjid yang bisa menambah pengetahuan dan penguasaan diksi saya.

    Membaca ini, khususnya masjid-masjid yang sudah berusia ratusan tahun, saya jadi membayangkan perkara akulturasi budaya Jawa dengan pakemnya pendirian masjid dalam aturan agama. Bagaimana juga dulu para wali melakukan pendekatan lewat budaya agar ajaran Islam bisa diterima dengan baik oleh penduduk. Dan salah satu pengejawantahannya adalah struktur bangunan masjid. MashaAllah.

    Balas
  6. Bikin mupeng kalau udah membahas ziarah masjid, karena bisa solat di sana dan pastinya tiap masjid punya keunikan tersendiri beserta sejarahnya.

    Balas
  7. Sebenernya adanya kubah memudahkan untuk menemukan lokasi masjid.
    Tapi itu kan jaman dulu yaa.. jaman sekarang, menemukan masjid bisa melalui gmaps.

    Wisata sekaligus memahami maksud dari pembangunan masjid melalui gaya arsitekturnya ini unik sekalii.. Aku kalau ke masjid Jawa Tengah memang rata-rata tiang-tiang gitu yaa.. Agak gimanaa pas ngliatnya. Etapi Masjid Istiqlal pun tiang-tiang juga.. hanya lebih modern.

    Semoga dengan adanya masjid, lebih banyak hati yang tertaut di dalamnya dan semakin banyak pula pemuda masjid yang memakmurkannya.

    Balas

Tinggalkan komentar