Pagi itu setelah kami check out dari Hotel Trio Solo, naik Grab untuk pindah hotel di jalan Slamet Riyadi. Acara koordinasi penelitian dengan Grup Caraka baru mulai sesudah Jumatan. Masih ada waktu untuk jelajah kota Solo dan kami ingin mengamati keunikan Masjid Laweyan Solo, yang menurut informasi di media online konon merupakan salah satu masjid tua di kota Solo.
Kami naik grab dan diturunkan di tikungan berseberangan dengan Masjid Laweyan Solo.
Sejarah Masjid Laweyan Solo
Masjid Laweyan dari seberang jembatan
Masjid Laweyan Solo terletak di pojok jalan, tampak cantik dari seberang jembatan yang di bawahnya mengalir sungai kecil. Masjidnya kecil, berbentuk persegi panjang, dengan atap seperti rumah tradisional Jawa. Letaknya yang lebih tinggi dari tepi jalan membuat masjid ini terkesan anggun dan menonjol dibandingkan bangunan di sekitarnya.
Kawasan Laweyan memiliki sejarah panjang, bermula hijrahnya Kyai Ageng Henis, dari Selo ke Pajang. Kyai Ageng Henis adalah putra dari Kyai Ageng Sela, keturunan raja Brawijaya V, juga seorang pemuka agama Islam, saat awal-awal syiar Islam di tanah Jawa.
Menurut penjelasan lisan, Kyai Ageng Henis bermukim di Laweyan sekitar tahun 1540. Selain mengajarkan agama Islam, beliau juga mengajarkan teknik batik tulis kepada santri-santrinya.
Di halaman rumah penduduk di desa-desa sekitar kawasan ini banyak ditanam pohon kapas untuk diolah menjadi benang yang disebut lawe. Itu sebabnya kawasan ini disebut Laweyan. Laweyan kemudian menjadi pusat perdagangan karena letaknya yang strategis, tepat di tepi Sungai Banaran yang langsung terhubung ke Sungai Bengawan. Di lokasi ini pula terdapat pelabuhan perahu yang jadi jalur perdagangan komoditas benang lawe dan batik.
Kyai Ageng Henis menjalin persahabatan dengan seorang pendeta agama Hindu di kawasan tersebut yang muridnya cukup banyak. Berkat persahabatan mereka dan sering berdiskusi, di kemudian hari pendeta Hindu ini pun memeluk Islam dan mengganti nama menjadi Kyai Ageng Beluk.
Pura tempat pemujaan agama Hindu kemudian menjadi masjid yang diberi nama Masjid Laweyan.
Konon Kyai Ageng Henis mempunyai putra bernama Kyai Ageng Pemanahan, pendiri dinasti Kerajaan Mataram.
Kawasan Laweyan ini di masa Kolonial dikenal sebagai Kampung Batik Laweyan dan di awal tahun 1900-an menjadi pusaran didirikannya Serikat Dagang Islam. Dalam sejarah perjuangan, Serikat Dagang Islam mengkoordinir saudagar batik untuk berjuang melawan Belanda.
Menapaki Masjid Laweyan Solo
Masjid Laweyan Solo
Hari masih pagi ketika saya dan suami mengunjungi Masjid Laweyan Solo, tetapi panasnya menyengat.
Menurut informasi yang saya peroleh, Masjid Laweyan berdiri di atas lahan seluas 162 meter.
Belum ada penjelasan atau data lengkap apakah bentuk masjid ini sejak dibangun dalam kondisi seperti sekarang. Sepertinya telah mengalami beberapa kali renovasi.
Berbeda dengan Masjid Agung Demak yang dibangun tahun 1479, sejak awal beratap tajuk (susun) tiga.
Masjid Laweyan Solo menurut data lisan dibangun 1546, di masa pemerintahan Kerajaan Pajang, beratap tumpang berbahan genteng dengan detail nok di ujung-ujung atas atap. Untuk menuju halaman masjid, kita harus naik undakan dulu dan melewati gerbang bercat hijau tosca.
Masuk ke masjid diterima oleh gapura putih besar dengan detail garis kuning keemasan di tengah, naik tangga, dan melalui gerbang lagi. Bisa juga melalui gapura kecil berbentuk lorong di kiri-kanan masjid.
Masjid Laweyan dari sisi selatan
Masjid yang asal mulanya bentuk arsitektur tradisional dilengkapi dengan serambi sebagai ruang tambahan shalat. Deretan delapan kolom kayu bercat hijau muda merupakan struktur serambi.
Serambi Masjid
Di kanan masjid ada tempat wudhu, toilet, ruang marbot. Sedangkan di kiri masjid, ada perpustakaan, kemungkinan ruang pawestren (ruang shalat perempuan).
Pawestren juga dijumpai di Masjid Agung Demak atau beberapa masjid bentuk arsitektur tradisional lainnya, yang ditempatkan di kiri masjid.
Seperti halnya di Masjid Jami Sumenep dan Masjid Ciptagelar di Cirebon.
Sekeliling serambi tertutup semacam roster berbentuk bulatan-bulatan. Kalau menilik bentuknya, sepertinya roster ini tambahan.
Terdapat bedug yang bentuknya unik, tidak bulat sempurna, tetapi agak benjol.
Podium
Pintu kaca ruang utama waktu itu tertutup, tapi saya bisa membukanya dan menyempatkan foto-foto ruangannya.
Di ruang utama lah baru jelas, bahwa masjid ini memang atapnya tajug (susun) dengan empat kolom utama menahan atap tajuk. Deretan jendela di atas membuat ruangan masih cukup terang.
Ruang Shalat Utama
Mihrab di depan polos tanpa ornamen berlapis keramik. Sedangkan di depan kanan ada semacam kursi hijau berukir dilengkapi meja kayu, sepertinya dipakai sebagai meja untuk khutbah.
Ruangan ini dilengkapi AC, jendela di kanan-kiri mihrab pun tertutup rapat. Itu sebabnya waktu saya intip ke ruang utama, hawanya terasa lembap karena tidak ada sirkulasi udara segar.
di depan Masjid Laweyan Solo
Makam Kyai Ageng Henis
Di sebelah kiri masjid ada gapura abu-abu yang pada dinding di sebelahnya terpampang plakat “Pasareyan Dalem Kyai Ageng Henis Laweyan”. Saya dan suami pun penasaran, ada apa di balik gapura ini.
Makam di kawasan masjid, saya jumpai di beberapa masjid tua di Indonesia, umumnya makam pemuka agama waktu itu. Misalnya makam di Masjid Agung Demak dan makam di Masjid Kuno Bayan Beleq, Lombok.
Menyusuri jalan setapak, belok kanan, menjumpai lagi gapura, dan diterima oleh halaman yang di dalamnya berdiri dua pendopo dengan struktur kayu.
Ada bapak dan ibu yang duduk-duduk di salah satu pendopo. Pendopo ini cantik sekali dengan konstruksi atap tumpang sari terbuat dari kayu. Menurut bapak yang jaga, pendopo ini didirikan oleh Pakubuwono II.
Pendopo didirikan Pakubuwono II
Di ujung halaman, masih ada gerbang bercat turkis yang untuk masuknya dari kanan-kiri (tidak langsung). Kami diajak oleh ibu penjaga untuk masuk ke area makam, melalui beberapa makam, sepertinya makam keluarga. Belok agak ke kanan, ada gerbang lagi, menuju area makam Kyai Ageng Henis. Ada beberapa deretan makam, dan di sudut kiri tampak tiga makam berjajar, makam Kyai Ageng Henis ada di tengah-tengah.
Ibu penjaga pun dengan fasih menjelaskan silsilah dan kisah sejarah raja-raja Jawa di zaman itu.
Ngobrol di pendopo
Kami tak berlama-lama di area makam, kembali lagi ke pendopo dan ngobrol dengan bapak-ibu penjaga tersebut, sambil ngadem dan melepaskan dahaga.
Hari sudah pukul sepuluh, tak terasa kami sudah satu jam di sini.
Setelah berbincang-bincang sejenak, kami pun pamit untuk melanjutkan jalan-jalan mau jelajah Kampung Batik Laweyan.
Gerbang ke luar
Penutup
Mengunjungi masjid tua atau masjid kuno di Indonesia sudah kami lakukan dalam beberapa kesempatan. Ada yang memang sengaja untuk berkunjung ke masjid tersebut, ada yang tidak sengaja mendapat informasi dari warga setempat.
Seperti waktu kami berkunjung ke kota Padangpanjang.
Secara kasat mata masjid-masjid ini terlihat sederhana, bentuk arsitekturnya pun mengadop dari bentuk arsitektur tradisional. Tidak ada unsur kemegahan tetapi kita justru melihat keagungan tersembunyi di dalamnya. Rata-rata terbuat dari kayu, sebagi ciri kearifan lokal.
Melalui masjid-masjid ini saya jadi belajar, betapa dulu orang bersusah payah untuk menyampaikan syiar agama yang waktu itu merupakan agama “baru” kala masyarakat sekitar masih memeluk Hindu.
Semoga bermanfaat.
Sumber:
https://duniamasjid.islamic-center.or.id/1101/masjid-laweyan/
https://kampoengbatiklaweyan.org/2024/03/26/3-fakta-menarik-tentang-masjid-laweyan-solo/
Sepintas bangunan tidak seperti masjid ya. Andai tidak ada plang papan nama mungkin gak mengira itu Masjid legendaris
Pas lihat ke dalamnya ternyata keren, unik dan banyak memiliki nilai sejarah
Kalau saya yang awam ini, dan pernah lewat depan Masjid Laweyan beranggapan oh masjid kuno yang bersejarah, udah…, kalau Mbak Hani yang nulis bisa diulas dari berbagai sisi dengan apik begini. Suka banget kalau Mbak Hani udah nulis soal bangunan termasuk masjid gitu…Enggak hanya menyorot dari sisi sejarahnya tapi juga arsitekturnya
Iya ya masjid ini meski sederhana menyimpan makna keagungan yang istimewa..
Bangunan memang sangat kental nuansa jawanya. Terutama atap utamanya yang tinggi ya, Mbak. jadi di bagian tengah ada lubang ke atas. gerbangnya unik sekali yang hanya muat 1 orang untuk melewati. Tapi justru mengajarkan harus antre, sabar menunggu giliran.
Di Gombong ada juga masjid tua yang model atapnya seperti ini. Tiang-tiang kayu juga mendominasi. Terus dekat masjid ini ada makamnya.
Yang bagusnya, masjid Laweyan ini masih sangat terawat dan terjaga. Sehingga kisahnya yang dari bermula sebuah pura, lalu dijadikan masjid di sebuah daerah yang banyak pohon kapas atau Lawe.
Sangat syahdu dan teduh sekali masjidnya. Kerasa beda banget dengan masjid pada umumnya, nuansa tradisionalnya masih kental sekali.
Seneng deh baca tulisan jalan-jalannya Mbak Hani. karena selalu bareng suami
Dulu, majalah Intisari (versi cetak tentunya) selalu memuat kisah perjalanan pasutri seperti Mbak Hani dan suami. Sayang, sesudah naya ke Google, saya gak nemuin jejaknya
Tentang Masjid Laweyan ini, apakah dekat pusat batik Laweyan?
Ketika terakhir jalan-jalan ke Solo, saya sempet ke pusat batik Laweyan, sayang gak tau ada masjidnya
Arstitekturnya khas Jawa Tengahan banget yaa, teh..
Aku salut sama ketelitian teh Hani saat mengabadikan setiap detil ruangan dan fasad bangunan Masjid Laweyan Solo. Jadi, pembaca seperti aku yang belum pernah ke Masjid Laweyan Solo jadi kebayang bentuknya.
Yang unik memang bedugnya sih ya..
Itu mengikuti bentuk kayu aslinya atau ada sejarah lain yang tersimpan sehingga berbentuk unik gitu yaa..?