
Harian “Pikiran Rakyat”, Jumat, 5 Januari 2018, halaman 5 terpampang artikel “Tahun Ini, 200 PTS Dimerger”. Kemudian baris di bawahnya tertulis, hingga 2019 ditargetkan 1000 PTS ditutup atau dimerger. Hal ini dilakukan agar pelayanan PTS tersebut lebih baik, apalagi 14% PTS kesulitan memenuhi biaya operasional kampus.
Di media lain juga diberitakan bahwa Kemenristekdikti menargetkan hanya 3500 Perguruan Tinggi di Indonesia. Menurut Menteri, sekarang ini ada 4.570 perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia, dan sebagian besar tidak efisien karena jumlah mahasiswanya sedikit.
Menteri membandingkannya dengan China yang jumlah penduduk 1,4 miliar namun hanya memiliki jumlah perguruan tinggi separuh dari yang dimiliki Indonesia. Maka, menurut Menteri Nasir, merger perguruan tinggi sangat penting karena tujuannya untuk memperbaiki kualitas.
Hal itu disampaikan dalam temu media bertajuk Bedah Kinerja 2017, Fokus Kinerja 2018 dan Anugerah Jurnalis dan Media Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) 2017.
Antara PTN dan PTS
Menteri Nasir dalam pernyataannya mengawatirkan bahwa dengan banyaknya PTS-PTS kecil itu, maka lulusannya kurang berkualitas. Pernyataan Menteri tersebut bisa benar bisa tidak. Saya justru khawatir Menteri hanya membandingkan Cina dengan Indonesia secara global saja, hanya dari proporsi perbandingan jumlah penduduk dan jumlah perguruan tinggi.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sistem penerimaan mahasiswa di Indonesia tumpang tindih dan persaingan yang ketat para lulusan SMA yang tidak sama kualitasnya.
Ditambah lagi masyarakat Indonesia masih terpukau dengan gelar, sehingga apapun yang terjadi sebisa-bisanya kuliah di suatu tempat untuk tak disebut sebagai pengangguran. Kerja tidak, kuliah pun belum.
Sebagai pengajar yang mengajar di PTS dan pernah terlibat pada sistem penerimaan mahasiswa di kampus, tidak mudah memang mencari mahasiswa baru. Pasang surut persaingan dan faktor eksternal-internal seringkali menambah unsur penilaian sebuah PTS selain tentu saja Akreditasi dan fasilitas yang dimiliki.
Saya belum mencari data lebih jauh bagaimana sistem penerimaan mahasiswa baru di Cina, ditarik mundur, pendidikan dasarnya seperti apa. Dan jumlah PT di Cina yang setengah dari jumlah di Indonesia itu, apakah terdiri dari perguruan tinggi yang didanai pemerintah atau swasta?
Di Indonesia ada PTN dan PTS. Bedanya tentu saja dari pendanaan dan pengelolaan.
PTS, harus ada Yayasan nirlaba yang mendirikan perguruan tinggi ini. Beberapa PTS di Indonesia juga satu Yayasan dengan pendidikan dasar yang dikelolanya, ada yang sejak TK-SD-SMP hingga SMA.
Pangsa Pasar PTS
Dulu, ketika belum ada akreditasi, pangsa pasar mahasiswa PTS adalah calon mahasiswa yang tidak lulus tes saringan masuk di PTN. Jadi sudah lazim, penerimaan mahasiswa baru di PTS selalu lebih mundur daripada di PTN. Bisa-bisa setiap semester jadwal mulai kuliahnya lebih mundur hingga sebulan.
Seingat saya, staf dan karyawan di kampus saya mengedarkan leaflet di sekolah-sekolah yang waktu itu menyelenggarakan tes masuk PTN. Promosi dan iklan pun gencar di berbagai media demi untuk menjaring calon mahasiswa baru tersebut.
Sekarang dengan adanya akreditasi dan informasi digital dari berbagai website, PTS yang akreditasinya A dengan percaya diri malahan sudah menyelenggarakan penerimaan mahasiswa baru sebelum Ujian Akhir SMA dilaksanakan. Aneh sebetulnya, belum juga lulus SMA, tetapi sudah diterima kuliah di Universitas X.
Hal ini tidak terjadi di PTN. Karena untuk ikut tes saringan masuk PTN ada persyaratan harus lulus SMA.
Ketika saya kuliah dulu, tidak ada persyaratan batas tahun lulus SMA. Sedangkan sekarang, maksimal adalah lulusan SMA 3 tahun ke belakang.
Di PTS, mau tahun berapa juga lulusnya, asal punya ijazah SMK/SMA tidak ada batasan, sehingga bisa tetap mendaftar untuk kuliah.
Merger PTS Kecil
Menurut Menteri Nasir, PTS kecil yang mahasiswanya kurang dari 1000 mahasiswa harus merger. Angka 1000 seolah menjadi tolok ukur keberlangsungan sebuah institusi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi kenapa sebuah PT masih beroperasional walaupun mahasiswanya sedikit.
PTS secara hukum di bawah naungan sebuah Yayasan yang disyahkan oleh Kementrian Hukum dan HAM. Tentunya bila beberapa PTS digabung, secara hukum harus ada perubahan dalam Statutanya. Masih mudah bila PTS-PTS tersebut di bawah Yayasan yang sama. Tidak mudah bila PTS-PTS tersebut di bawah yayasan yang berbeda-beda.
Saya pernah bertugas di sebuah Sekolah Tinggi pada kurun waktu tertentu, jumlah seluruh mahasiswanya 2000 mahasiswa. Karena sesuatu dan lain hal, utamanya kalah bersaing dengan PTS-PTS lain yang bermunculan, serta ada masalah internal, jumlah mahasiswa menurun terus hingga hanya 100an mahasiswa seluruh angkatan.
Kalaupun harus merger, entah harus merger dengan PTS mana.
Bisa-bisa terjadi jual beli PTS, misalnya Kemenristek Dikti betul-betul menerapkan dengan ketat peraturan 1000 mahasiswa tadi.
Perampingan Personil Struktural
Merger menurut saya, bukan hanya menggabungkan institusi supaya mahasiswa yang sedikit jadi banyak. Merger secara struktural justru merampingkan personil yang duduk di struktural dan staf administrasi.
Contohnya begini. PTS A, misalnya sebuah Sekolah Tinggi, secara struktural terdiri dari Ketua, Pembantu Ketua, biasanya PK I, PK II dan PK III. Kemudian ada Kepala Biro-Kepala Biro.
Bila beberapa Sekolah Tinggi berbeda bidang keilmuan dimerger, misalnya menjadi Universitas. Maka Sekolah Tinggi tersebut di Universitasnya setingkat Fakultas. Maka semula Ketua, secara struktural menjadi Dekan. Kewenangan Ketua dan Dekan tentu saja berbeda. Dekan, secara struktural harus bertanggungjawab ke Rektor.
Sedangkan contoh lain, Sekolah Tinggi dengan keilmuan sama, misalnya STIE, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, bila dimerger menjadi hanya 1 Sekolah Tinggi. Maka hanya diperlukan satu Ketua dan jajarannya. Dalam hal ini siapa yang harus dilengserkan?
Mahasiswa Karyawan
PTS-PTS kecil biasanya menjadi target bagi karyawan yang ingin meningkatkan pendidikannya. Atau sebaliknya PTS-PTS kecil menyasar karyawan untuk kuliah kembali. Itu sebabnya di mana-mana terpampang promosi, dibuka kelas karyawan atau kelas malam.
Tidak sedikit lulusan-lulusan sekolah vokasional atau SMK yang memang kuliah selepas pulang kerja.
SMK jurusan Bangunan, yang bekerja sebagai drafter atau juru gambar di konsultan, umumnya melanjutkan ke program studi Teknik Arsitektur. Atau SMK Informatika, melanjutkan ke S1 program studi Informatika.
Mereka-mereka ini tidak mungkin kuliah lagi di PTS besar bahkan PTN. Karena biasanya PTS besar tidak membuka kelas malam. Rentetannya menjadi panjang dan biaya operasional harus dikalkulasi cermat, karena kaitannya ke biaya listrik dan tenaga dosen yang mau mengajar malam.
Kenapa PTS kecil bisa membuka kelas malam, karena memang operasionalnya dibuka malam hari. Ada juga PTS yang memberlakukan shift atau giliran kerja bagi karyawannya.
Kualitas PTS
Sebenarnya ada tolok ukur kualitas PTS yang namanya akreditasi. Setahu saya tidak ada penjelasan bahwa minimal 1000 mahasiswa mempengaruhi akreditasi sebuah perguruan tinggi. Borang-borang yang harus diisi lebih pada manajemen, penyelenggaraan belajar-mengajar, penelitian dosennya, fasilitas, dan banyak unsur lainnya.
Bila sebagian besar mahasiswa adalah karyawan, seringkali mereka tak begitu hirau dengan kualitas. Seringkali para mahasiswa karyawan tersebut melanjutkan pendidikan untuk meningkatkan status mereka di kantor. Kaitannya ke depan adalah penyesuaian standar penghasilan mereka. Tentunya beda standar gaji lulusan SMK dan lulusan S1. Soal ketrampilan dan pengalaman, seringkali mahasiswa karyawan memang lebih terampil daripada mahasiswa murni yang baru lulus SMA.
Pendidikan Tinggi di Indonesia memang terasa masih belum stabil di sana-sini. Ide merger dari Kemenristek Dikti mungkin mengadop merger beberapa SD Negeri yang muridnya sedikit agar biaya operasional lebih efisien. Merger perguruan tinggi tidak lepas dari persyaratan sebuah kampus yang minimal harus memiliki lahan 5000 m2. Sedangkan PTS-PTS kecil yang mahasiswanya sedikit tersebut banyak sekali yang memakai ruko sebagai ruang kuliah. Bahkan menyelenggarakan proses belajar-mengajarnya di kompleks perumahan. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh Kemenristek Dikti sesudah terpisah dari Kementrian Pendidikan Nasional ini, termasuk memindahkan semua data, demi memperbaiki kualitas perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Penulis:
Tri Wahyu Handayani,
Dosen ASN Kopertis Wilayah IV dipekerjakan di Universitas Winaya Mukti.