Cagar Budaya Percandian Dieng, Jejak Lestari Negeri Kayangan

Syahdan ada sebuah negeri di atas awan, negeri kayangan, tempat bersemayam para dewa. Negeri tersebut terletak pada posisi geografis 7012’ Lintang Selatan dan 109054’ Bujur Timur, serta berada pada ketinggian 2.093 m dpl. Negeri bernama Dieng, yang berasal dari gabungan dua kata berbahasa Kawi. “di” bermakna tempat atau gunung, dan “hyang” yang berarti Dewa. Dihiyang atau Dieng, berarti tempat bersemayam para Dewa dan Dewi.
Beruntungnya saya pernah berkunjung ke negeri kayangan ini kala SMP, berwisata bersama keluarga. Kemudian diulang kembali, kuliah lapangan bersama grup teman-teman dan dosen pembimbing, bertahun-tahun yang lalu. Walaupun tak ada foto kenangan, karena belum ada kamera ponsel, tapi kenangan akan semburat mentari di persemayaman para dewa ini masih melekat erat. Kenangan berjalan di antara gugusan batu dan cagar budaya Percandian Dieng, kemudian diwajibkan membuat sketsa lapangan oleh dosen pembimbing. Serta kenangan sejuknya hawa pegunungan dilengkapi dengan bentang alam yang unik.

Sejarah Asal-usul Dieng

Dieng merupakan sebuah dataran tinggi (DT) seluas 619,846 hektar, dikelilingi oleh gugusan gunung-gunung antara lain Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Gunung Perahu, Gunung Rogojembangan dan Gunung Bismo. Bentang alam unik berupa dataran tinggi tersebut menurut asal-usul Dieng sebetulnya adalah kaldera raksana, sisa letusan gunung api purba beribu-ribu tahun yang lalu. Sampai sekarang kawasan DT Dieng dibatasi dengan gunung-gunung kecil seperti Bisma, Seroja, Binem, Pangonan, Pagerkandang, Telogo Dringo, Pakuwaja, Kendil, Kunir, dan Prambanan.
Sebagai kawasan gunung berapi aktif yang ada di bawah permukaan, maka di Dieng banyak lapangan fumarola terdiri atas Kawang Sikidang, Kawah Kumbang, Kawah Sibanteng, Kawah Upas, Telogo Terus, Kawah Pagerkandang, Kawah Sipandu, Kawah Siglagah, dan Kawah Sileri. Dilengkapi pula dengan berbagai danau-danau vulkanik yang merupakan percampuran antara air dan belerang sehingga menimbulkan uap berbau khas dan warna yang berubah-ubah. Danau atau telaga vulkanik tersebut adalah Telaga Warna, Telaga Cebong, Telaga Merdada, Telaga Pengilon, Telaga Dringo, dan Telaga Nila.

Kompleks Percandian Dieng

Tak ada catatan yang tepat sejak kapan Dieng Plateau ditemukan dan menjadi daerah hunian. Nama Dieng diduga berasal dari bahasa Sunda, karena kawasan tersebut konon masa pra-Medang, pernah di bawah pengaruh politik kerajaan Galuh, kira-kira tahun 600 Masehi. Temuan prasasti menunjukkan kemungkinan dataran tinggi Dieng merupakan daerah untuk peribadatan atau tempat pemujaan.
Kebayang juga sih, daerah dataran yang luas, berhawa sejuk, hening, dan di lingkung gunung, pas sekali dipakai sebagai kawasan pemujaan kepada Sang Pencipta. Beberapa temuan dengan adanya candi-candi menunjukkan bahwa di tengah-tengah dataran tinggi Dieng merupakan tempat pendidikan Hindu tertua di Indonesia. Diperkirakan ada 200 candi di seputar Dieng, tetapi karena bencana alam tinggal 8 yang tersisa dan masih berdiri tegak. Candi-candi ini didirikan oleh Kerajaan Kalingga dari Dinasti Sanjaya, kira-kira di abad 7 hingga abad 8 Masehi, sebagai pemujaan terhadap Dewa Siwa, dewa perusak. Dalam kepercayaan mitologi Hindu, pemujaan kepada Dewa Siwa dengan harapan agar tidak merusak kehidupan manusia.

Sependek ingatan saya, waktu kuliah lapangan, kami berjalan menyusuri area cagar budaya Percandian Dieng tersebut dan ditugaskan membuat sketsa candi. Menurut berbagai sumber, candi-candi tersebut diberi nama sesuai dengan kisah epos Mahabarata, berdasarkan nama-nama tokoh pewayangan. Penamaan candi-candi tersebut kemungkinan diberikan oleh warga setempat yang turut andil juga memelihara dan merawat candi-candi tersebut.
Dalam sejarah arsitektur di Indonesia, arsitektur Hindu terlacak dari adanya candi-candi dengan berbagai bentuk di wilayah Indonesia. Dominan dapat dilacak artefaknya adalah candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Candi-candi di Jawa Tengah ada 14 candi, yaitu: Pringapus, Dieng, Selagriya, Gedongsongo, Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan, Sari, Ratuboko, Larajongrang, Sewu, Sukuh-Cetho, dan Mengkamulan.
Percandian Dieng menurut penelitian sezaman dengan Candi Gedongsongo di Kabupaten Semarang, dan termasuk candi Syiwaistis, yang gayanya paling dekat dengan candi di India.

Zonasi Kawasan sebagai Upaya Pelestarian Cagar Budaya

kompleks percandian dieng
Kompleks Percandian Dieng, sumber: sejarahlengkap.com

Candi-candi di Indonesia merupakan bagian dari pelestarian cagar budaya seperti tercantum Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Cagar Budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan yang berupa benda, struktur, bangunan, situs, dan kawasan. Sedangkan Percandian Dieng tertuang dalam SK Menteri No173/M/1998 dan SK Menteri No007/M/2017 termasuk dalam Cagar Budaya Kawasan.
Ketika candi-candi Dieng ditemukan sekitar tahun 1814 oleh seorang tentara Britania, reruntuhan candi berada di tengah danau. Baru pada tahun 1856, Isidore van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan danau dan dilanjutkan dengan proyek rekonstruksi di masa pemerintahan Hindia Belanda.

lukisan junghuhn, tahun 1856
Dataran Tinggi Dieng dan Candi Bima, lukisan F.W. Junghuhn, tahun 1856,
sumber: wikiwand.com

Pengelompokan kawasan percandian di dataran tinggi Dieng dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Kompleks Candi Arjuna

candi arjuna dan candi semar
Candi Arjuna dan pendamping Candi Semar, sumber: wikiwand.com

Kompleks Candi Arjuna merupakan kompleks yang pertama ditemukan dan areanya seluas 1 hektar. Terdapat lima bangunan candi, yaitu Candi Arjuna, Candi Semar sebagai pendamping Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Area ini secara administratif terletak di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.

Kompleks Candi Gatotkaca

Candi Gatotkaca
Candi Gatotkaca, sumber: sejarahlengkap.com

Kompleks berikutnya adalah Candi Gatotkaca yang terdiri dari lima candi juga, yaitu Candi Gatotkaca, Candi Setyaki, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk, dan Candi Gareng.

Kompleks Candi Dwarawati

Candi Dwarawati
Candi Dwarawati, sumber: indonesiakaya.com

Bila melihat peta goole kawasan dataran tinggi Dieng, kompleks Candi Dwarawati letaknya paling utara, di antara permukiman penduduk dan kebun kentang. Kompleks yang lokasinya di lereng Gunung Prau ini terdiri dari empat candi, yaitu: Candi Dwarawati, Candi Pandu, Candi Margasari, dan Candi Abiyasa. Bangunan candi di sini tidak semuanya utuh, hanya Candi Dwarawati saja yang bentuknya mirip Candi Gatotkaca.

Candi Bima

Candi Bima
Candi Bima, sumber: cagarbudaya.kemdikbud.go.id

Candi Bima merupakan candi yang bentuknya paling beda, letaknya paling selatan dari kawasan percandian Dieng. Letaknya agak di atas bukit, tak jauh dari Candi Gatotkaca berukuran 6X6 meter dan tingginya 8 meter.
Saya jadi ingat komik wayang karangan RA. Kosasih. Mungkin dinamakan Bima, karena tokoh wayang putra Pandu ini badannya paling besar.

Menilik luasnya kawasan percandian di dataran tinggi Dieng sedangkan artefak dan kompleks-kompleks candi yang tersisa saling berjauhan, baru-baru ini Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan Kajian Zonasi Kawasan Cagar Budaya Dieng. Tim zonasi ini melibatkan tim arkeologi, tim antropologi, tim planologi, dan tim pemetaan, dibantu oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo, serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara.
Kawasan percandian Dieng memang ada di dalam wilayah administrasi dua kabupaten, yang batasnya hanya berupa sungai kecil bernama Kali Tulis. Teman-teman, zonasi kawasan ini bertujuan untuk memberikan ruang perlindungan pada obyek-obyek percandian.

Meneropong Pelibatan Warga Melestarikan Cagar Budaya Percandian Dieng

google earth percandian dieng
interpretasi google earth percandian Dieng

Dataran tinggi Dieng merupakan kawasan yang luas, dengan berbagai elemen kehidupan di luar percandian. Mengumpulkan ingatan yang terserak saya pun terbang ke Dieng Plateau melalui website Google Earth. Negeri kayangan ini menjadi penuh warna, ada perumahan warga, perkebunan, percandian yang ada di berbagai titik, diselingi dengan kawah aktif serta telaga.
Ratusan tahun bukan waktu yang pendek, bentang alam yang semula asri sebagai tempat menyepi, lalu centang perenang dengan berbagai kesibukan. Desa Cebongan yang awalnya sebagai satu-satunya desa di dataran tinggi Dieng dan merupakan desa tertinggi di pulau Jawa. Tak bisa dipungkiri, kemudian berkembang dengan tumbuhnya desa-desa baru, sejalan kawasan dataran tinggi Dieng pun menjadi area obyek wisata selain percandian.
Untuk itu perlu berbagai upaya agar cagar budaya Percandian Dieng dapat tetap tampil cantik antara lain:

1 – Melibatkan Warga dan Komunitas

melibatkan warga & komunitas

Baru-baru ini ditemukan jejak Candi Kunti yang ada di lahan warga. Bukan tak mungkin masih ada jejak candi-candi lain yang terkubur tetapi ada di area permukiman. Untuk itu perlu pengertian warga dan penyelamatan kawasan oleh BPCB Jawa Tengah bila ada kasus penemuan baru.
Pengembangan pariwisata sebagai sumber pendapatan asli daerah tidak bisa hanya ditimpakan pada pemerintah dan pihak swasta sebagai investor, tetapi juga pada warga sebagai pemilik kawasan.

2 – Konsep Eco-Tourism

konsep eco-tourism

Beberapa sumber menuliskan masalah terbesar setelah Percandian Dieng menjadi daerah tujuan wisata adalah masalah lingkungan dan sampah. Dieng Cultural Festival yang tiap tahun digelar dengan berbagai acara budaya, seperti Tari Lengger, Tari Rampak Yaksa, dan ritual pemotongan rambut gembel, merupakan warisan budaya tak benda yang patut dilestarikan. Tetapi di sisi lain menyisakan sampah plastik dan bungkus kemasan dari para turis. Untuk itu perlu upaya memanfaatkan dan mendaur-ulang sampah tersebut.

3 – Konsep Eco-Economist

konsep eco-economist

Sama halnya kawasan daerah gunung berapi di tempat lain di Indonesia, daerah Dieng merupakan perkebunan subur. Terutama kentang Dieng yang dikenal sebagai kentang tess, bahan dasar penganan kroket, karena teskturnya lembab dan mudah dibentuk. Kemudian wortel, buah carica, dan herbal purwaceng merupakan hasil bumi lain dataran tinggi Dieng. Sayangnya pola tanam yang memanfaatkan lereng-lereng bukit rawan menimbulkan erosi dan menyebabkan banjir.
Konsep eco-economist adalah menawarkan pada petani tersebut mata pencaharian lain selain hanya bertani. Pengembangan Desa Wisata yang melibatkan warga, untuk menerima wisatawan menginap di rumah-rumah warga merupakan salah satu upaya, agar tidak semua warga terjun sebagai petani.

Penutup

Teman-teman, gimana? Ingin juga ya kembali ke kompleks Percandian Dieng yang sudah terkenal sebagai daerah tujuan wisata sejarah dan pelestarian budaya. Kawasan ini kemudian berkembang menjadi area kebun kentang, tanaman khas setempat, ladang geotermal, dan obyek wisata alam.
Sementara di sisi lain, kekhawatiran pudarnya kompleks Percandian Dieng karena dimakan usia dan kerusakan akibat uap belerang yang menggerogoti material candi pun menyeruak.
Marilah kita jaga dan rawat cagar budaya Percandian Dieng ini warisan lestari negeri kayangan agar mentari tetap bersinar cerah.

Sumber:
Sumintardja, Djauhari; 1981; Kompendium Sejarah Arsitektur; Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan; Bandung
https://bppiindonesianheritagetrust.org/
https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/
https://www.indonesiakaya.com/
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
https://sejarahlengkap.com/

Oleh:
Tri Wahyu Handayani, author blog https://garis.my.id

10 pemikiran pada “Cagar Budaya Percandian Dieng, Jejak Lestari Negeri Kayangan”

  1. Dataran tinggi dieng ini udah lama masuk dalam wishlist saya, tapi sampai sekarang belum kesampaian.

    Udah dijadwalkan april tahun ini ke wonosobo, eh ternyata ada pandemi. Yah, emang belum rejeki

    Balas
    • Aku selalu tertarik dengan berkunjung ke cagar budaya seperti ini. Karena ketika berkunjung selalu ada perasaan “untuk kembali ke zaman dahulu” 😁😁 dan tenang aja gitu

      Balas
  2. Tugas bikin sketsa lapangan dari dosen pembimbing masih bermanfaat aja ya Mbak, bs mengingat detail candi-candi di Dieng. Btw, tentara Britania menemukan candi-candinya di tengah danau ya dan dilakukan pengeringan danau, luar biasa juga itu upayanya. Sayang sedikit demi sedikit candi mengalami kerusakan ya karena dimakan usia dan terpapar uang belerang. Nice share Mbak… banyak nambah wawasan nih ttg Dieng, makasih.

    Balas
  3. Saya terakhir kali mengunjungi Dieng itu tahun 2016, sewaktu liburan dengan keluarga dan sahabat.
    Harga tiket masuk untuk wisatawan asing masih masuk budget, dibandingkan dengan HTM di komplek candi yang lain.

    Ketika melihat banyak puingan di sekitar lokasi, sedih banget melihatnya. Dari 200 candi, tersisa hanya 8 candi.
    Sangat ketara karena area Dieng ini luas sekali.

    Saya setuju, kita sebagai WNI wajib melestarikan cagar budaya seperti ini, salah satunya dengan mempromosikan wisata di Dieng.

    Balas
  4. Dieeeeeeeng
    Salah satu destinasi wisata yang langsung bikin aku jatuh cinta sejak pandangan pertama
    Ibaratnya nih ya, Dieng itu gak perlu diapa-apain lagi udah cantik
    Semua tempatnya menarik
    Kekayaan alamnya luar biasa
    Huaaaa ku kangen Dieng

    Balas
  5. Menarik sekali Dieng ya kak. Peninggalan leluhur yang begitu exotis. Semoga suatu saat bisa datang berkunjung ke Dieng. Belajar sambil refresh. Padahal dekat lho ini dengan kampung halamanku di Doplang Jawa Tengah.

    Balas
  6. Lukisan tahun 1856, membuatku makin kagum akan kekayaan budaya kita di masa lalu. Lantas, kenapa ya saat ini kita ngga bisa membuat sesuatu yang bisa meninggalkan kesan seluarbiasa masa itu? Dien ini indah banget dan punya ragam cerita di dalam kesehariannya. Aku belum ke sana, tetapi malah anak istriku yang sudah ke sana nih kak.

    Balas

Tinggalkan komentar