Kata disrupsi, saya dengar pertamakali dari suami, dalam sebuah bincang-bincang ngalor-ngidul sarapan pagi. Atau mungkin makan malam, lupa. Berkat google, Emak-emak macam saya pun sempat melihat cover buku Disruption, dan rupanya menjadi perbincangan banyak orang.
Sekarang ini saya sedang membaca bukunya Renald Kasali berjudul Disruption. Buku setebal 512 halaman termasuk index ini, baru saya baca 13 halaman. Penasaran, saya loncat ke bab Disruptive Mindset.
Disruptive Mindset (Pola Pikir Disrupsi)
“This is not just a question of changing skillset. It is a changing mindset.” – Julie Dodd, penulis New Reality
Disruption, disruptive, disrupted, disrupsi, bahkan disruptor…
Arti kata disrupsi menurut KBBI adalah hal tercabut dari akarnya.
Alamak, mahluk apa sih itu? Mana kata benda, kata sifat, dan kata kerja yah?…
Kata disrupsi belakangan ini akan kita baca dan temui dimana-mana. Setiap seminar yang diselenggarakan kampus, hampir dipastikan ada kata-kata disrupsinya. Misalnya Design and Planning in the Disruptive Era.
Kalau bahasa sederhananya hasil terjemahan, disrupsi adalah mencabut dari akarnya. Berarti kita sekarang berada di zaman disrupsi. Zaman di mana segala hal serba cepat, seolah tercabut dari akarnya.
Kalau saya memahaminya, ada hal-hal yang biasa kita lakukan, ternyata di kemudian hari, ada langkah-langkah yang bisa dilewati. Kita dituntut menjadi serba cepat, mempunyai respons cepat, real-time, mampu menyelesaikan banyak hal secara paralel. Salah satu yang menentukan apakah kita bisa melakukan serba cepat karena tuntutan zaman adalah pola pikir kita yang disruptif. Atau disruptive mindset.
Disruptive, pengertian bebasnya adalah mengganggu, memecah belah. Mindset adalah bagaimana manusia berpikir yang ditentukan oleh setting yang kita buat sebelum berpikir dan bertindak.
Berkat Teknologi Informasi
Contoh sehari-hari nih, kita selama ini mempunyai pola pikir bahwa orang bekerja, terutama yang berkerja kantoran, waktunya antara pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Sedangkan pola pikir disrupsi, waktu kerja kita adalah 24 jam sehari, 7 hari seminggu, tanpa terikat waktu dan tempat.
Berkat teknologi informasi yang namanya internet dan segala hal yang digital, kita bisa sesegera mungkin merespons dan mengeksekusi, bahkan tanpa harus melihat jam. Memangnya manusia tidak ada tidurnya kah? Koq, bisa 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Ya tentu saja bukan kita sendiri yang melakukan semuanya. Sekarang ini kan segala hal yang digital bisa diatursuai, di setting, sesuai keinginan kita.
Coba perhatikan email. Kita berkirim emal ke seseorang di malam hari, otomatis ada jawaban, bahwa email sudah diterima dan akan ada jawaban paling lama 2X24 jam.
Teknologi informasi yang melakukan semua itu, bukan menyuruh orang untuk mantengin email bukan?
Baca juga ke sini: Digitalisasi Desain antara Peluang dan Ancaman
Dulu, ketika baru-barunya marak media sosial (medsos), para orangtua terkesan alergi dengan hal tersebut. Bagi mereka media sosial adalah mainan anak-anak. Sebaliknya, anak-anak heran bila ada orangtua yang medsos-an. Ketika ada kisah seorang anak perempuan SMP berkenalan dengan seorang pria melalui Facebook, dan beberapa hari kemudian kabur bersama teman barunya, kita terhenyak. Orangtua tidak tahu apa-apa, ada dunia lain tidak terlihat yang nyata-nyata ada di sebelah kita. Kalau kata tagline sebuah perusahaan telekomunikasi, dunia ada dalam genggaman.
Berbeda misalnya, ketika orangtua mau belajar menggunakan telepon genggam dan ikut-ikut medsosan. Berteman di dunia maya dengan anak-anak, dan tahu siapa teman-teman anak-anak mereka. Keterbukaan terjalin di antara orangtua dan anak-anak. Tidak ada lagi hirarki seperti zaman dahulu. Zaman keluarga bangsawan, di mana orangtua tidak pernah mengobrol dengan anak-anak.
Inilah yang dinamakan Disruptive Mindset. Pola pikir korporat, pola pikir eksponensial, pola pikir yang melesat. Orangtua masa kini harus mempunyai pikiran yang lebih terbuka, mau belajar, bergerak, dan menyelesaikan permasalahan.
Serba Online
Ketika emak-emak mulai faham menggunakan media sosial dan bisnis online marak, banyak perempuan beralih profesi. Semula mereka adalah ibu bekerja di luar rumah kemudian mengundurkan diri dan memilih menjadi ibu rumah tangga penuh waktu.
Benarkah ibu rumah tangga penuh waktu benar-benar mengurus rumah sepanjang hari? Ternyata berkat kemampuan multitasking para ibu, mereka masih bisa tetap berkarya mengembangkan diri masing-masing. Bisnis online adalah salah satunya. Ditunjang dengan perangkat gawai canggih berkuota internet penuh, ibu-ibu bisa tetap berinteraksi dengan dunia luar.
Ketika Uber sebagai bisnis taksi online pelan-pelan menggeser taksi konvensional, maka bermunculan start up bisnis sejenis. Taksi konvensional menghadapi saingan-saingan yang tak terlihat. Demo taksi konvensional dan angkutan umum terhadap keberadaan taksi online marak di mana-mana.
Ternyata dari sekian kejadian, demo menentang keberadaan taksi online, termasuk ojek online, ibu-ibu yang bekerja di rumah justru terbantu dengan keberadaan ekspedisi memanfaatkan aplikasi online ini. Gojek bukan hanya pengantar penumpang, dia juga pengantar barang.
Perempuan ternyata mempunyai mental yang sangat mudah beradaptasi. Mental seperti inilah yang disebut disruptive mindset. Mental yang mampu menjebol tatatan kebiasaan yang telah berlangsung turun-temurun.
Semuanya adalah tentang mindset. Tentang pola pikir.
Disruptive mindset (pola pikir disrupsi) adalah pola pikir siap beradaptasi terhadap segala situasi.
Disruptive Mindset vs Steady Mindset
Renald Kasali dalam buku Disruption, juga menjelaskan bagi setiap pembelajar ada dua jenis mindset, seperti ada pada bagan di bawah ini:
sumber: quotemaster
Ada pembelajar yang melakukan sesuatu karena dinilai dan ada yang melakukan sesuatu karena hidupnya ingin berubah.
Fixed Mindset, merasa hebat serta terikat tradisi, merasa lebih pandai serta akan selalu paling pandai.
Akibatnya mereka mempunyai sikap yang mudah menyerah, menghindari tantangan, melihat usaha sebagai hal yang sia-sia. Kemudian merasa terancam dengan keberhasilan orang lain, dan mengabaikan kritikan yang membangun.
Growth Mindset, selalu terbuka dan mampu “melihat” kesempatan-kesempatan baru dalam setiap perubahan. Tentu saja dengan mental seperti ini, mereka siap menerima tantangan baru, tahan menghadapi rintangan, dan melihat usaha sebagai bagian untuk jadi mahir. Ditambah lagi mereka mau belajar dari kritikan dan mendapatkan pelajaran serta inspirasi dari kesuksesan orang lain.
Intinya, menghadapi era disrupsi ini, kita harus mampu berinovasi, sangat terkoneksi dengan internet dan media sosial. Mampu berkolaborasi dan mendobrak tatanan yang sudah berlangsung lama.
Seperti kata Renald Kasali di halaman 311:
Tentukan di mana Anda berada dan belajarlah menerima disruption ini!